Skip to main content

Posts

Behind The Scene Samudra Hati (menjawab pertanyaan para pembaca)

Dari tahun 2012 ketika awal cerita ini dishare di fanpage I Love Kawanimut banyak sekali yang bertanya apa novel ini kisah nyata atau fiksi? Tak sedikit juga yang bertanya bagaimana caranya menulis, mengatur plot dan lain sebagainya? Atau bagaimana saya bisa mendapatkan ide untuk membuat kisah Aidan-Saila ini? Dulu, awal menulis Samudra Hati, saya belum paham benar tentang teori menulis fiksi khususnya novel. Bahkan saya saat itu belum bisa membedakan kalimat tell atau show . Saya hanya penulis pemula yang kebetulan sejak duduk di kelas lima SD sangat suka menulis kisah seorang putri dan pangeran lalu memaksa teman-teman untuk baca dan menarik upeti setelah mereka baca (astagfirullah semoga Allah mengampuni kekhilafan saya kala itu). Jadi saat itu saya hanya menuliskan apa yang terlintas di pikiran saya. Yes, sesederhana itu. Dan entah berapa kali Samudra Hati pun direvisi sebelum akhirnya diremake ulang tiga bulan yang lalu. Tentang Samudra Hati, beberapa senior dan tuto
Recent posts
Preorder Novel Samudra Hati dibuka pertengahan september. Informasi lanjutan dapat menghubungi  http://bit.do/WA-RimaTrisnawati

Telah Terlahir (kembali)...

Kini, aku tahu mengapa Adzan shubuh senantiasa membekas di hatiku. Aku tahu. Karena pagi ini adzan shubuh beriringan dengan jerit tangis pertama dari mulutmu. Barakallah, telah terlahir (kembali) aku untuk ketiga kalinya. Aku, kini menjadi seorang ibu… Malam itu sekitar pukul 21.30, seperti ada dentuman di perutku. Aku terperanjat dan melompat dari tempat tidurku. Suamiku yang telah tertidur lelap, tiba-tiba ikut terhenyak. “Pecah ketuban?” katanya. Matanya tampak merah karena kantuk. “Entahlah.” Jawabku tak mengerti. Tak lama, air mengalir seperti urin yang tak tertahan. “Sepertinya iya.” Jawabku tenang.  Suamiku gegas melompat dari tempat tidurnya. Ia mengambil handphone dan menelpon bidan mengabarkan keadaanku. “Segera bawa kemari.” Hanya itu yang diucapkan oleh bidan tempat aku periksa detik-detik mendekati persalinan. Aku sendiri masih tenang mengganti pakaianku dan sempat menyetrika jilbab yang akan ku kenakan meski air ketuban tak henti merembes. Setelah suamiku meng

Catatan Hati Ibu Hamil (Bukan CHSI)

Ceritanya mau mulai move on menulis lagi dan update blog yang udah nyaris setahun ditinggal. Ya, "nyaris" setahun. Cuma tinggal ngitung beberapa hari lagi genap setahun :p Yups, kali ini mau curcol dikit tentang kehamilan plus suka dukanya. Aiihhh, sebenarnya udah lama ingin juga curcol kehamilan saat baca "Surat Calon Mama untuk Dejan"-nya punya temen (dan tiba-tiba sok keren aja jadi silent reader gitu. hihihi), tapi kayaknya saking sudah terjerumusnya ke dalam "rasa malas". Akhirnya ditunda lagi ditunda lagi dengan alasan, ah mendingan masak aja buat buka puasa (saat itu bulan Ramadhan). kekeke... 37 minggu 4 hari genap usia kehamilan saya. Aih, padahal di bulan yang sama tahun kemarin saya belum ketemu sama sekali dengan suami, bahkan belum terbayang siapa yang akan jadi jodoh saya nantinya. Sekarang, udah harap-harap cemas aja nunggu si buah hati lahir. (nah kan kisah perjalanan bertemunya suami aja belum di setor di blog ini).

Nila

Lagi kau datang menghampiriku dengan wajah ditekuk. Padahal senja di luar sana begitu cantik tanpa mendung seperti yang kau suka. Ada tangis yang tersendat di kelopak matamu. Bibirmu bergetar tapi kau mencoba tetap tegar. Aku menghela nafas lelah. Ku tatap kau dengan pandangan iba. Biar ku tebak, lagi-lagi para lelaki itu menolakmu. Apa yang salah denganmu? Pikirku. Kau cantik, anggun dan begitu lembut. Hatimu demikian halus. Ah, aku tahu. Tuhan sedang melindungimu dari para lelaki itu dan menyiapkan seseorang yang terbaik untukmu. Tuhan menyiapkan seseorang yang paling pantas untuk mendampingimu karena kau istimewa, bisikku dalam hati. “Kemarilah...” ku rentangkan tanganku menyambutmu. Kau segera menghambur dan ku benamkan kau dalam tubuhku. Tangismu mulai meleleh. Tergugu kau dalam pelukkanku. “Apa yang salah denganku, Nila?” bisiknya dalam keterguguan. “Tidak ada.” Jawabku pendek. Ku hela nafas sejenak berharap kau tak mendengar tangis yang mulai mengisak di hatiku. “Percayal

Jingga

“Kita mencintai hujan di pagi hari. Karena ianya...” kata-katamu terhenti sejenak. “Begitu syahdu.” Ucap kita bersamaan. Kau menarik tanganku menembus gerimis halus yang menyenandungkan lagu lembut yang hanya bisa disimak oleh orang-orang berhati lembut sepertimu. Kaki-kaki kita memercikan air dalam kubangan sisa hujan deras shubuh tadi. “Menikahlah, Jingga...” gumammu. “Aku tahu kau membutuhkan seseorang yang lebih untuk mendampingimu.” Ia melirik ke arahku. Kedua manik mata itu tampak berbinar penuh harap. “Kau lebih dari sekedar saudara dan sahabat bagiku.” Jawabku. “Aku tahu, setiap malam kau memimpikan seorang pangeran di sisimu. Seseorang yang tidak hanya menyerahkan bahunya dan menggenggam tanganmu saat kau menangis. Tapi ia yang juga selalu berusaha untuk membuatmu bahagia.” Katamu dengan suara nyaring seperti kicauan burung pagi ini yang hilang karena gerimis masih bersenandung. “Kau sendiri?” tanyaku. Ku hentikan langkah kakiku. Kau terlambat berhenti lantas berbalik

Rindu yang Tertafsir

Seperti pada senja-senja sebelumnya. Senja kali ini ia berdiri di bibir pantai dengan air laut yang membenam hingga mata kakinya. Rutinitas itu seakan telah diiringi tendensi kata “wajib”. Pandangannya tertumbuk pada sinar kemerahan sang mentari lelah yang balik menusuk kedua matanya. Nafasnya masih beraturan sama dengan ritme yang demikian syahdu. Kali ini lebih tenang dari biasanya. Bibirnya masih terkatup, namun kali ini tertarik simetris ke kiri dan ke kanan. Tangannya terentang bersiap memeluk hembusan angin. Seakan itulah sayapnya yang akan membawa ia melambung menyentuh awan. Perlahan kelopak matanya mulai turun. Lantas purna menutup bola mata hitamnya. Seperti ritual yang biasa ia jalani. Ia telah bersiap menyimak bisikan angin di gendang telingannya. Kali ini tak ada suara yang berbisik tentang Safir dan Zamrud. Tidak pula hanya sekedar menanyakan kabarnya yang bahkan semesta tahu benar ia bukan hanya baik-baik saja.