Kini, aku tahu mengapa
Adzan shubuh senantiasa membekas di hatiku. Aku tahu. Karena pagi ini adzan
shubuh beriringan dengan jerit tangis pertama dari mulutmu. Barakallah, telah
terlahir (kembali) aku untuk ketiga kalinya. Aku, kini menjadi seorang ibu…
Malam itu sekitar pukul 21.30, seperti ada dentuman di
perutku. Aku terperanjat dan melompat dari tempat tidurku. Suamiku yang telah
tertidur lelap, tiba-tiba ikut terhenyak. “Pecah ketuban?” katanya. Matanya tampak
merah karena kantuk. “Entahlah.” Jawabku tak mengerti. Tak lama, air mengalir
seperti urin yang tak tertahan.
“Sepertinya iya.” Jawabku tenang. Suamiku gegas melompat dari tempat tidurnya.
Ia mengambil handphone dan menelpon bidan mengabarkan keadaanku.
“Segera bawa kemari.” Hanya itu yang diucapkan oleh bidan
tempat aku periksa detik-detik mendekati persalinan. Aku sendiri masih tenang
mengganti pakaianku dan sempat menyetrika jilbab yang akan ku kenakan meski air
ketuban tak henti merembes.
Setelah suamiku mengeluarkan kendaraannya. Aku gegas duduk
di belakangnya. Rasa mulas semakin menguat tapi aku masih mampu duduk dengan
tenang.
Perjalanan kami kurang beruntung, berniat mencari jalan
pintas lewat perumahan komplek Angkatan darat, rupanya beberapa jalan tembusan
sudah tertutup portal. Akhirnya suamiku memutar balik kendaraannya dan kembali
ke jalan raya.
“Mulas?” tanyanya sesekali.
“Ya… lumayan.” Jawabku. Di perjalanan kami masih mengobrol
seperti biasa di kendaraan. Sama sekali tidak berbeda dengan perjalanan kami
saat kami jalan-jalan berdua.
“Oh ya kak. Kita kabari ibu dan mama besok pagi saja saat
dedek bayinya sudah lahir.” Usulku. Entah kenapa, aku begitu yakin esok pagi
sudah akan bisa memeluk bayi kami. “Aku nggak mau mereka panik dan wara wiri ke
sini malam-malam.” Tambahkan.
“Iya aku setuju.” Jawab suamiku.
“Hmm… supaya kita juga bisa lebih intim berdua. Aku pernah
baca sebuah buku, katanya, momen melahirkan itu sebaiknya hanya suami yang
menemani istri. Bukan ibunya bukan pula mertuanya. Biar hubungan mereka makin
dekat. Begitu.”
“Begitu ya?” ujar suamiku.
Sesampainya di depan gang, aku turun dari kendaraan suamiku.
Suamiku sendiri mematikan mesin sepeda
motornya dan lebih memilih mendorong sepeda motornya karena kuatir mengganggu
warga sekitar. Aku berjalan mengikuti di belakangnya. Tampak rumah bidan sudah
terbuka pintunya, aku dan suami menghela nafas lega. “Bu bidan sudah siap
siaga, dek.” Gumam suamiku. Aku pun tersenyum senang.
Kami berdua mengucap salam. Seseorang menjawab salam kami,
namun tak seorang pun muncul. Tak lama ku dengar di ruang bersalin seorang ibu
sepertinya sedang berjuang mengeluarkan buah hatinya. Perawat pun keluar dari
ruang bersalin dan meminta kami menunggu.
Aku dan suami duduk di lobi. Tepatnya di kursi plastik yang
biasa kita temui di tukang baso. Rasa mulasku semakin menguat dan semakin
teratur. Sedangkan air ketuban tak hentinya merembes, terutama saat aku
bergerak.
Pukul 23.15, suara tangis bayi terdengar dari ruang
bersalin. Aku dan suami mengucap syukur Alhamdulillah. Eh, tentu saja itu bukan
bayi saya. Itu bayi seorang ibu yang tadi melahirkan.
Yes. Aku masih mengantri. Tidak hanya saat hendak check up
ke dsog, tapi juga saat hendak melahirkan. 23.30, aku dipersilakan masuk ke
ruang pemeriksaan. Di timbang, di cek tensi darah, dan detak jantung janin.
Kemudian pemeriksaan dalam. Ternyata, sudah pembukaan empat nyaris ke lima. Aku
berucap syukur.
Kemudian aku pun dipindah ke ruang bersalin. Rasa mulas
semakin menjadi. Tidak hanya itu, tubuhku menggigil kedinginan.
Pukul 02.00 dini hari, kembali bidan melakukan pemeriksaan
dalam. Sudah lengkap bukaan. Ya rabb, semuanya sangat cepat dan dimudahkan. Terimakasih.
Its time!
Saatnya perjuangan bayiku dimulai. Ia akan mendorong dirinya
untuk keluar dari tubuhku dengan sedikit bantuan dorongan dariku. Namun setelah
beberapa kali kami mencoba hasilnya nihil. Si bayi masih kesulitan keluar.
“Adakah lilitan tali pusar saat USG?” Tanya bidan pada
suamiku dengan sedikit panik.
“Tidak ada bu. Dokter bilang semuanya baik-baik saja.” Jawab
suamiku.
“Kenapa seperti ini?” bu bidan tampak kebingungan. Yaps,
karena si bayi setelah hampir keluar, kepalanya kembali tenggelam di tubuhku.
Saya pun merasa lelah dan mengantuk. Ingin rasanya tidur
sejenak dan melanjutkannya nanti. Sayang, bu Bidan tidak mengizinkan. Tentu saja,
ini tentang nasib bayi dalam kandungan saya.
Pada akhirnya setelah dua jam setengah lamanya, bayi kami
lahir setelah dibantu dengan episiotomi dan dorongan perawat. Suara tangisnya
langsung di sambut kumandang adzan dari berbagai penjuru. Adzan semakin syahdu
pagi itu. Telah terlahir kembali aku sebagai seorang ibu. Bayi kecil itu kini
menggeliat-geliat di atas perutku. Selamat datang ke Dunia sayang. Selamat
datang, Ayselku…
Sekarang pipinya udah bisa dijawil-jawil, kepalanya geleng-geleng dan teriak-teriak :D
ReplyDeleteSudah hampir setahun ya :D
DeleteBarakallah... Proses melahirkan memang mendebar, walaupun sdh sering menyaksikan dan membantu, tp ketika diri sendiri yg mau lahiran, tetap deg2an.
ReplyDelete