14 Oktober
Setelah semua
barang-barang yang ku perlukan terkemas rapi dalam koperku. Aku kembali
memeriksa kelengkapan dokumen perjalananku. Passport, visa dan semuanya telah
tersimpan rapih di handbag. Ku
pandangi seisi kamarku, melucuti setiap barang yang berada disana sekiranya ada
barang yang bisa tertinggal. Sebuah MP4 hitam masih tergeletak di atas meja
belajarku. Aku segera meraihnya dan ku masukkan ke dalam tas tangan putihku.
“Saila... kau telah
siap?” ku dengar suaranya memanggil dari luar kamarku. Aku mengangguk.
“Ya.” Sahutku saat ku
sadari ia tak bisa melihat anggukanku. Ia membuka pintu kamarku dan menunjukkan
dua tiket di tangannya.
“Pesawat kita berangkat
pukul empat nanti. Biar aku yang menyimpan ini.” ujarnya padaku. Aku mengangguk
setuju. Ia memasukkan tiket-tiket itu ke dalam dailypacknya. Dengan satu gerakan ia telah menurunkan koperku dari
tempat tidurku, membawanya keluar dan mengemas dengan rapi bersama
barang-barang bawaan lainnya di bagasi taksi yang menunggu kami sedari tadi.
***
29 September
Langit cerah berawan
sore itu, saat aku sedang asyik duduk di ayunan rotan sambil menebarkan
remah-remah jagung di halaman belakang rumah, tempat merpati-merpatiku
bermain-main disana. Namun di entah, pikiranku tak di sini. Bahkan aku tak dapat
mendeskripsikannya, semuanya terlalu kalut seperti benang-benang kusut yang
saling terikat.
Tanpa ku duga ia duduk
menghentak di sampingku. Tangannya yang kekar meraup butiran jagung dari kotak
yang ku genggam dan menebar kasar ke arah merpati-merpatiku yang tengah asyik
mematuki jagung-jagung yang ku lempar tadi. Beberapa ekor merpati terbang ke
angkasa, beberapa lagi hanya melompat terkejut lalu kembali mematuki
jagung-jagung yang ia lempar tadi.
“Sudah tiba saatnya kau
ikut bersamaku.” Ujarnya setengah bergumam.
“Kenapa?” tanyaku. Aku
menoleh ke arahnya. Matanya masih tertumbuk pada merpati-merpati itu.
“Bukankah semua kewajibanmu
di sini telah usai?” Ia balik bertanya. Di balik kacamata minusnya, ia balik
menatapku. Aku mengangguk-angguk.
“Lantas, alasan apalagi
yang bisa kau tawarkan untuk meyakinkanku ikut bersamamu?” Ku palingkan
pandanganku kembali pada dua ekor merpati yang kembali setelah mereka terbang mengangkasa
karena dikejutkannya.
“Ku pikir sudah
saatnya kau mengakhiri ini. Biar di sana, bersama-sama kita sembuhkan luka
itu.” dengan ekor mataku, ku
dapatkan pandangannya masih untukku bukan merpati-merpati itu atau pun
bunga-bunga di sekitarnya.
“Tawaran yang
menggiurkan.” Aku tersenyum satir.
“Kau meragukanku?” ia
kembali meraup butiran jagung itu. Kali ini ia tak langsung melempar butiran
jagung itu, sejenak ia menggenggamnya di tangan kiri sampai akhirnya ia kembali
menebarkan pada merpati yang tampaknya sudah kekenyangan.
Aku menggeleng. “Aku
meragukan diriku.” Desisku.
Ia menghela nafas seraya
disandarkan punggungnya pada sandaran ayunan rotan itu. Dalam helaannya ku
dapati ia kecewa pada pernyataan yang baru saja ku lemparkan.
“Aidan. Apa kau yakin
aku bisa?” tanyaku, ku harap pertanyaanku bisa membangkitkan kepercayaannya
untuk menyuntikan motivasi padaku.
“Tentu. Aku yakin itu.”
Ucapnya optimis.
“Bagaimana kau bisa
seyakin itu?”
“Ayolah Saila, kita
telah bersama hampir enam tahun lamanya. Kau adalah bagian dariku dan aku pun
demikian.” Ujarnya menggebu.
“Aku percaya padamu.” Bisikku
Aku memandangnya lekat.
Ia tersenyum sumringah. “ So do I.”
“ I’ll go with you.” tambahku
***
15 Oktober
Burung besi itu kemudian
mendarat di Bandara El Prat kota Barcelona yang begitu artistik. Aku dapat
mencium udara musim gugur. Samar-samar menebar udara beku musim dingin yang tak
lama lagi akan berkunjung ke Negeri ini. Ia berjalan di sampingku dengan troli
penuh barang-barang kami yang ia dorong.
Dari kejauhan ku lihat dua orang wanita melambai pada kami. Seorang
wanita paruh baya dan seorang gadis yang usianya tak jauh dariku. Ia membalas
melambaikan tangan, diiringi senyuman yang segera mekar di bibirnya. Gadis muda
itu segera berlari menyongsong kami. Dipeluknya ia yang berdiri di sampingku
dengan penuh kerinduan. Sedangkan wanita separuh baya itu berjalan anggun di
belakangnya. Kemudian menyalamiku, mencium kedua pipiku dan sejenak mendekapku
dalam pelukannya seraya berbisik “bienvenido”.
Comments
Post a Comment