“Seluna, You’ve
gone.” Pandangan gadis kecil itu memaku pada seekor kelinci putih yang
terkapar di pinggir jalan. Bulunya tak lagi seputih kapas, noda merah kini lebih
mendominasi tubuhnya oleh darah yang terus mengalir dari lehernya yang terluka.
Beberapa menit yang lalu seekor kucing abu-abu mencengkram lehernya dan
membawanya lari, hanya beberapa detik setelah gadis kecil itu meninggalkannya
masuk rumah untuk mengambilkan seikat sayuran untuknya. Jerit nyaring kelinci
itu cukup menyadarkan pemiliknya dan mengisyaratkan bahwa dirinya dalam bahaya
dari seekor kucing yang sedari tadi mengendap-endap mencari waktu yang tepat
untuk menerkamnya. Gadis itu segera berlari keluar rumah, dilihatnya kucing itu
membawa lari tubuh kecil kelinci itu di mulutnya, persis seperti kucing itu mencengkram
tikus-tikus menjijikan dengan taringnya. Gadis itu berlari mengejarnya,
kerikil-kerikil berhamburan ke arah kucing itu dari tangan-tangannya yang penuh
emosi. Kucing itu melepaskan dan mencampakkan tubuh kelinci yang sekarat itu,
sedangkan kucing itu terus berlari ke arah barat sana.
“Aku benci padamu dan semua kucing di Dunia! Dengar itu!”
Teriak gadis itu. Saat di kejauhan sana dilihatnya kucing itu berhenti berlari
dan menoleh pada si gadis dengan tatapan yang entah, seolah mengerti apa yang dikatakan
gadis itu padanya. Mungkin kucing itu benci karena gadis melemparinya dan
membuatnya gagal melahap daging kelinci. Entah merasa bersalah karena memangsa
hewan yang tak bersalah itu. Entah pula karena ia khawatir karena telah menabuh
genderang perang dengan gadis aneh pecinta kelinci dan melibatkan seluruh
spesiesnya yang tak bersalah. Apapun itu tak menghapus dendam si gadis pada
kucing itu juga seluruh keluarganya.
***
“Saila... kamu baik-baik saja?” tangannya melambai-lambai
di hadapanku. Aku terperanjat. Ia telah kembali ke kamar dengan pakaian rapi,
kemeja merah marun dengan celana bahan hitam licin membuatnya tampil perlente.
Aroma khas black code dari Giorgio Armani menyeruak dari tubuhnya,
membawa nuansa musim semi yang baru akan datang sekitar dua bulan lagi. Wewangian
yang tak asing bagiku dan telah merekam sebuah momen. Namun masih entah, momen
apa yang terekam, hanya musim semi yang selalu muncul di otakku saat ku cium
aroma itu.
“Hei kau melamun. Its
early to do it.” Ia terkekeh.
Siapa juga yang mau
melamun tentang kenangan mengerikan itu, hatiku mengelak.
Bayangan itu muncul tanpa aku undang dan ku duga, menghentak-hentak meminta
keluar dari hardisk sistem kerja
otakku yang tak pernah aku minati untuk membukanya.
“Seluna.” Gumamku. Ia mengerutkan keningnya mendengar
suaraku. Kedua alisnya nyaris bertemu. Ia tampak sedang mengaduk-aduk isi
otaknya.
“Seluna?” Ia merapalkan kembali nama itu setengah
bertanya. “Seekor kelinci peliharaanmu saat kau berumur enam tahun, yang
membuatmu membenci seluruh spesies kucing di Dunia. ” Jelasnya membantuku
mengingat. Sejak kecelakaan yang membuat semua akses memori otakku tertutup, ia
merelakan otaknya berbagi memori denganku, mengambil alih tugas otakku untuk
mengingat kejadian, benda, ataupun orang-orang yang tak bisa ku temukan lagi di
sistem berpikirku, bukan karena hilang tapi semuanya terblokir. Hanya dengan
mengucapkan satu kata, menunjuk satu benda, atau apapun, ia akan segera menanggapi
dan menjelaskan objek yang ku maksudkan.
“Apa kau ingat kejadian itu?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Ya, sangat jelas. Seperti film horor yang tak ingin ku
tonton.”
“Kau bahkan berhasil mengingat kelinci kecilmu. Aku malah
berpikir, kapan kau bisa mengingat tentangku sejelas kau mengingat tragedi
kelinci kecilmu.” Ucapnya sangat pelan. Saking pelannya aku tak begitu jelas
menyimak setiap katanya.
“Maksudmu?” aku memcoba mempertegas, berharap ia mau
mengulang apa yang ia ucapkan.
“Baiklah. Saatnya mengobati lukamu.” Serunya mengalihkan
perhatianku. Ia mengambil wadah berisi handuk kecil yang ia rendam dalam air
hangat, dan kotak obat yang ia letakkan di atas meja riasku.
Ia mendekatiku yang duduk di tepi tempat tidur. Lantas ia
duduk di lantai, tepat di sampingku. Diletakkannya kedua benda itu di samping
kanannya. Ia mencoba meraih kaki kiriku yang tampak biru legam di bagian
pergelangannya, namun dengan spontan aku mengelak, menjauhkan dari tangannya.
“Tidak akan apa-apa.” Gumamnya.
“Aku tidak ingin kau menyentuh kakiku.” Ucapku dingin.
Ia tersenyum. “Aku tahu semuanya masih tampak crowded dalam memori otakmu, tapi kau
tetaplah engkau yang tak pernah berubah.”
“Aku? Aku yang bagaimana?” ku potong kalimatnya.
“Kau yang selalu berusaha menghormati semua orang dan tak
pernah membiarkan orang lain merasa lebih rendah.” Jelasnya. Nampaknya ia
begitu hafal dengan watakku. Ah... bukannya ia selalu hafal tentangku.
Semuanya, juga tentang Seluna, kelinci peliharaanku yang baru saja ku sebut.
“Contohnya?” tanyakku.
“Seperti yang baru saja kau lakukan. Kau takkan membiarkan
orang lain menyentuh kakimu atau perbuatan lainnya yang kau anggap bisa merendahkan
orang lain.” Ia meremas-remasnya handuk kecil itu dengan tangan kanannya,
sedang tangan kirinya berusaha meraih kakiku kembali. “Tidak apa-apa.” Ucapnya.
“Tapi...” aku masih mengelak.
“Tidak apa-apa, Saila. Ku mohon jangan biarkan ada jarak
di antara kita. Tak perlu ada lagi keseganan. Dengan begitu, ku harap bisa
membuka jalan memori di otakmu untuk enam tahun yang pernah kita jalani.” Ia
mendongakkan wajahnya menatapku. Aku mengangguk. Kini ku biarkan kakiku berada
di tangannya tanpa perlawanan.
“Kenapa hanya
kejadian-kejadian buruk yang mudah kembali dalam ingatanku? Dan kenapa aku tak
bisa mengingat tentangmu meski hanya sedikit saja.” tanyaku memelas. Rasa
frutasi kembali menyelimuti dadaku.
“Itu karena hatimu penuh dengan amarah, Saila.” Kepala
Nicole menyembul di balik pintu kamarku. “Apa aku boleh masuk?” tanyanya. Aku
mengangguk.
“Belajarlah untuk memaafkan, dan biarkan hatimu menerima
semuanya. Kau tahu kenapa kau tak pernah bisa mengingat sedikitpun tentang kau
dan Aidan?” wanita paruh baya itu sengaja melemparkan pertanyaan yang selama
ini justru selalu aku cari jawabannya. Aku hanya menjawabnya dengan gelengan
lemah. Sedangkan, Aidan fokus mengobati lukaku tanpa sedikitpun ikut campur
dalam perbincangan aku dengan ibunya.
“Kenapa?” tanyaku.
Nicole tidak langsung menjawab pertanyaanku, ia
memperhatikan sejenak putranya yang tengah mengobati lukaka dengan telaten.
Aidan mulai mengompres pergelangan kakiku yang membiru.
“Karena, hanya kebaikan dan ketulusan yang ia berikan
untukmu. Semua itu takkan mudah kau ingat saat hatimu penuh amarah. Wajar jika
selama ini kau sulit mengingatnya. Karena hati yang marah hanya memberi umpan
untuk ingatan-ingatan yang penuh dengan kemarahan. Mulailah dengan belajar
untuk memaafkan dirimu sendiri.”
Ucapan wanita itu mengiris hatiku. Dia benar. Sangat
benar. Aku menoleh pada Aidan. Ia tampak sibuk mengoleskan obat semacam cream pada lukaku. Keheningan merayapi
ruangan itu, baik aku, Nicole maupun Aidan semuanya bungkam, mereka seperti
terhanyut dalam pikirannya masing-masing, seperti aku yang tengah hanyut
mencerna kata-kata Nicole.
“Baiklah, aku tak ingin terlambat datang ke Pâtisserie. Aku harus pergi sekarang.” Nicole
akhirnya bersuara. Wanita itu lalu mengecup kepalaku dalam-dalam. “ Jangan lupa
untuk mengajak Saila sarapan. Aku sudah menyiapkannya di meja makan.”
Perintahnya pada Aidan. Ia meremas bahu Aidan yang tengah berlutut di hadapanku.
Ia baru saja selesai membebatkan plester sepanjang pergelangan kakiku, mulai
dari atas mata kaki hingga telapak kaki dan meninggalkan jari-jariku yang tetap
terbuka. Aidan beranjak dari tempat
duduknya, lalu menghampiri ibunya. Dikecupnya pipi wanita itu kiri dan kanan,
kegiatan yang biasa dilakukan di sini setiap bertemu ataupun akan berpisah
dengan seseorang. “Terimakasih, mama...”
Ia mengantarkan ibunya sampai depan pintu kamar seraya
mengambil kruk yang ia sandarkan di dinding. Ia menyerahkan kruk itu padaku,
kemudian membantuku menopang tubuh dengan benda itu. Benda itu telah akrab
denganku beberapa hari ke belakang dan aku harap sesegera mungkin meninggalkannya. Aku juga rasakan kakiku mulai membaik dari
hari ke hari.
Aku melangkah dengan benda itu masih kaku seperti
biasanya. Sedangkan ia berjalan menjejeriku sambil sesekali bersiap menahan
kruk saat aku hendak tergelincir.
“Kenapa kau lakukan semua ini padaku?” tanyaku padanya.
Saat kami baru saja keluar kamar. Aku berhenti sejenak menunggunya menutup
pintu kamar. Rasa-rasanya pertanyaan itu terlalu konyol untuk diajukan.
“Apa kau tak punya kalimat lain yang bisa kau lontarkan
padaku tanpa diawali kalimat tanya ‘kenapa’?” Ia kembali menjejeri langkahku.
“Karena aku selalu butuh alasan untuk bisa melakukan
apapun, termasuk usahaku untuk sembuh, dan aku butuh alasan agar aku bisa paham
tentangmu...”
“Juga alasan untuk kau percaya dan bertahan di sisiku?”
ia dengan jitu menangkap jalan pikiranku. “Kau meragukanku lagi?”
“Tidak. Aku...”
“Ya...ya... kau meragukan dirimu.” Lagi-lagi ia memotong
kalimatku.
Kami telah sampai di ruang makan. Ia menyediakan kursi
untukku, dan menyandarkan kruk pada kursi di sampingku. Baru setelahnya ia
duduk di kursi paling ujung di meja, kursi utama yang telah menjadi miliknya
sejak ayahnya pergi meninggalkan rumah itu.
“Dimana Carlotta?”
Tanyaku saat tak ku dapati gadis itu yang biasa duduk di sampingku.
“Mungkin masih tidur.” Jawabnya ragu.
Aku segera mengambil sepotong waffle dari piring besar di hadapanku kemudian meletakkan di atas
piringnya sebelum ia melakukan itu untukku, dan mengambil sepotong lagi
untukku. Secangkir cokelat panas telah terparkir di samping piringku, asapnya
mengepul menerbitkan rasa laparku. Sedangkan aroma kopi arabika dari secangkir
espresso di samping piringnya lebih tajam menyeruak menguasai seisi ruangan.
Ia mulai meneguk espressonya setelah mengucap basmalah,
dilanjut dengan melahap waffle yang
telah ia potong menjadi bagian-bagian kecil.
“Jadi?” tanyaku memecah keheningan.
Ia menelan makanannya sebelum ia balik melemparkan
pertanyaan untukku. “Kau masih ingin aku menjawabnya?”
Ku anggukan
kepalaku setelah ku tenggak cokelat panas dari cangkirku.
“Sederhana saja. Aku hanya ingin semuanya kembali normal.
Kau sembuh. Menjalani harimu dengan semangat seperti biasanya dan kau kembali
mengerti tentang tujuanNya menempatkanmu di sini.” Ia kembali melahap sisa
makanan di piringnya. Sejenak aku mematung, berpikir dan mencerna kata-kata
itu, berusaha memahamkannya pada diriku.
“Hanya itu?” aku memandangnya penuh curiga. Pertanyaan
yang sepatutnya tak perlu muncul, apa yang ia paparkan sudah sangat jelas
bagiku. Namun entah, aku selalu tahu ada sesuatu yang ingin diungkapkannya
padaku, tapi enggan untuk terucap sebelum aku memaksanya dengan
pertanyaan-pertanyaanku.
“Ya. Aku juga bertanggung jawab atasmu.”
“Kenapa?” kembali ku lontarkan kata tanya yang seringkali
membuatnya senewen.
“yo estoy... ”
ia tak melanjutkan perkataannya.
“Mi marido?”
lanjutku. Kata yang sedari awal sering ia ucapkan padaku, kemudian tak pernah
lagi ia ungkapkan sejak kami berada di kota ini. Ia mengangguk.
“Tidak perlu tergesa untuk memahami kata itu. Kau hanya
butuh waktu untuk mencerna dan memahamkan pada dirimu, hingga kau mampu
menerimanya.”
“Bagaimana jika semua itu memakan waktu yang lama?”
“Apa sekarang kau mulai menggeser kedudukan ‘kenapa’
dengan ‘bagaimana’?” ia berkelakar.
Aku tersenyum simpul, “mungkin.”
“Tak perlu khawatir Saila. Aku mempunyai banyak waktu dan
kau boleh menghabiskannya sesukamu..” Ia masih mencandaiku.
Aku kembali tersenyum. Ia pun tersenyum padaku. Senyum
yang menampakkan deretan giginya yang putih, kecil dan berjajar rapi. Senyum
yang ku rasa tak pernah asing bagiku meski yang ku tahu kali ini baru ku dapat
darinya. Senyuman kini terasa
hangat melelehkan bekuan-bekuan di dalam hati. Senyuman itu bagai kunci yang
membuka slide-slide di otakku. Bayangan-bayangan yang entah kapan aku alami. Déjà vu.
***
Ombak-ombak kecil itu mengejar dan mengenai ujung kaki,
membasahi kaos kaki hingga ujung gamis katunku, juga menyapu nama yang baru ku
goreskan di atas pasir putih dengan sepotong kerikil, “Saila & Aidan.” Aku
merengut saat nama itu kini hanya berbentuk goresan tipis di pasir. Samar. Ia
tersenyum melihat tingkahku, Senyum yang menampakkan giginya yang putih
kecil-kecil berjajar rapi. Ia mengangkat kamera DSLR yang ia gantungkan di lehernya dan
berkali-kali mengambil gambarku tanpa permisi. Pantai ini terasa milik berdua,
sepi. Saat itu musim semi baru memasuki pertengahan. Musim semi yang menebar
aroma kesegaran, sesegar keharuman parfumnya yang menjadi ciri khas dirinya. Kami
sengaja mengambil waktu itu menghindari hiruk pikuk orang-orang yang memburu
musim panas untuk berlibur ke pantai.
Ia mengambil kerikil dari tanganku lalu menggoreskannya
di atas pasir “Je t’aime, Saila”.
Belum sempat aku tersenyum, ombak kembali memburunya dan menghapus tulisan itu.
Aku kembali merengut.
“Tenanglah Saila, kalimat itu di hatiku takkan mudah
terhapus, seperti ombak menghapus kalimat itu di pasir.” Ia mengeluarkan
rayuannya.
“Nonsense.” Ku sikut
rusuknya sambil tersenyum malu. Kini aku yang berlari memburu ombak, hingga air
laut membenamkan kakiku hingga ke lutut. Angin laut menghembus jilbabku. Aku
berbalik menghadapnya. Tampak ia masih memandang tingkahku dengan senyum yang
sama di darat sana. Ia kembali mengangkat Nikon D800-nya, berancang-ancang
mengambil gambarku.
“Apa benar apa yang kau katakan tadi, Aidan? Meski ombak
bahkan badai ujian menghempas jalannya kehidupan kita?” teriakku. Suaraku
membaur bersama riuh angin. Ia menurunkan DSLR dari hadapannya sebelum sempat
mengambil gambarku.
Ia tak pernah lupa melempar senyumnya untukku. “Insya
Allah Saila. Je t’aime gracê à Allah.”
Ia tak kalah berteriak.
“Whoaaa...” teriakku seraya memercikan air dengan kedua
tanganku ke arah yang tak menentu. Ia telah berhasil membuat jantungku
melayang, dam membuatku menjadi sang dewi di taman surgawi. Lantas DSLR-nya
kembali diangkat, dan ku dapati ia mengambil gambarku berkali-kali.
Ia berlari mengejarku, meendapatiku, dan menggenggam
tanganku. Kini ombak yang lebih besar menghempas kami, aku oleng dari tempat
berpijakku namun ia dengan sigap menangkapku. Derai tawa kami bersiteru dengan
deru ombak dan riuh angin.
Aku mengambil kamera yang menggantung di lehernya. Kali
ini aku foto ia habis-habisan, kadang kali ia mengelak, di lain waktu ia
menunjukkan wajah konyolnya.
Ia menggenggam tanganku dan menarikku ke tepi pantai.
Kini air laut hanya mampu membenamkan kami hingga pergelangan kaki. Ia mengajakku
menyusuri pantai. Aku berputar dan
melompat-lompat, kakiku menarikan Flamenco, tarian tradisional Spanyol di atas ombak
kecil dan menimbulkan percikan-percikan air laut yang mengenai tubuhnya.
“Aidan, why
do everyone call it, the beach of love?” tanyaku.
Ia tak menjawabku. Ia membawaku berlari menyusuri pesisir
menginjak-injak ombak kecil yang memburu pasir. Lantas ia membawaku ke dataran yang lebih tinggi.
“Lihat itu.” tunjuknya. Dari sini aku dapat melihat
seluruh sisi pantai dan semenanjungnya. “Coba kau foto.”
Aku mengangkat kameranya yang masih aku pegang sedari
tadi dan mengambil beberapa gambar. Kemudian menurunkannya lagi.
“Coba kau lihat semenanjung yang terbentuk sepanjang
pantai.” Telunjuknya bergerak menelusuri bentuk pantai di layar review kameranya. Kemudian menunjuk
landskap di hadapan kami.
“Pantai ini berbentuk...” kata-kataku terhenti. Ku tekuk
empat jari tangan kiriku setengahnya dan membiarkan ibu jariku tetap lurus.
Ia turut menekuk empat jari tangan kanannya setengah dan
membiarkan ibu jarinya tetap tegak lurus, menempelkannya berhadapan dengan
tangan kiriku.
“Hati.” Lanjutnya. Ia mengutuhkan potongan hati yang ku
bentuk dengan jariku dengan jarinya.
“C’est pourquoi,
tout le monde l’appelle la plage de l’amour.” Ujarnya.
***
Ada perih yang merambati hati ini. Entah luka yang
membengkak, entah perlawanan antibodi pada virus yang menghantam. Pertempuran
yang tak bisa ku pahami, yang ku rasa hanya sakit yang menghujam.
Pengkhianatan macam apa ini, membiarkan ia menjadi orang
terasing bagi diriku sendiri. Jalan itu mulai membuka, cahaya itu mulai
merangsek masuk ke otakku. Aku ingat sekarang. Ia tak harus membuang waktunya
lebih banyak lagi agar aku paham siapa diriku, agar aku mengerti makna dirinya
bagiku. Ikatan-ikatan benang kusut yang mengkerangkeng memoriku telah
melonggar, memudar, dan mulai tersusun rapi dengan sendirinya.
Ku pandangi ia lekat, tak ingin aku lupa pada
senyumannya. Senyuman yang paling berharga bagiku. Bahkan aku ingin menelusuri
setiap garis wajahnya saat ia tersenyum, namun embun mulai terbit di mataku.
Ianya menghalangi senyuman yang menghangatku itu.
“...Meski ombak bahkan badai ujian menghempas jalannya
kehidupan kita.” Ku ulangi kata-kata itu.
Ia tampak terkejut. “Kau mengingatnya?”
Aku mengangguk cepat.
“Katakan padaku? Berapa lama aku melupakan senyumanmu?
Seberapa lama aku lupa pada dirimu?” Suaraku parau oleh tangisku. Aku mulai
sesegukan.
“Entah. Aku tak pernah ingin tahu seberapa lama kau
terlupa. Aku hanya berpikir kau harus kembali kapanpun. Meski hanya untuk
dirimu sendiri.”
Rasa perih itu semakin merayapi
hatiku, menusuk-menusuk seperti jarum. Bendungan di mataku akhirnya pecah.
“Kau sudah kembali dan mengingatku. Itu sudah lebih dari
cukup bagiku.” Ia menghapus air mata yang merambati pipiku. Kini aku dapat
melihat dengan jelas setiap garis wajahnya. Di balik kacamata minusnya, kini
terlihat ada kaca lain yang lebih lunak menghalangi iris matanya yang cokelat.
Apakah ini cerita sambungan dari samudera hati?
ReplyDeleteSebenarnya saya menunggu sambungannya...