Senja telah
turun memeluk kota Paris, saat aku langkahkan kakiku ke arah sungai Seine.
Seine hanya tinggal beberapa meter dari hadapanku. Semakin dekat aku menemukan
siluet tubuhnya yang tinggi membelakangiku. Ia benamkan kedua tangannya dalam
saku jaket, pandangannya terpaku melucuti keindahan sungai itu. Aku telah
berdiri di belakangnya dalam hitungan detik aku menepuk bahunya dengan setengah
menjijitkan kakiku. Aidan tampak terperanjat. Ia segera memutar tubuhnya.
“Saila, kau membuatku terkejut.” Ia tampak gemas padaku.
“Maaf
sedikit terlambat.” Ujarku tanpa rasa bersalah karena telah membuatnya menunggu
lima belas menit dari waktu yang dijanjikan. Tiga jam yang lalu, ia menelpon
memintaku menemuinya di tempat ini, setelah tiga hari ini kami menginap di
hotel. Ia harus bergabung dengan timnya untuk pertandingan kemarin. Sedangkan,
aku harus menginap di hotel berbeda dan tidak sedikitpun kami memiliki
kesempatan untuk jalan-jalan hanya sekedar menghirup keromantisan kota ini
sampai pertandingannya usai kemarin malam.
“Bukankah
kau selalu terlambat?” tanyanya setengah meledek. Aidan kembali membalikkan
tubuhnya. Ku tabrak punggungnya dengan bahuku, lalu berdiri menjejerinya.
Pandangannya
mulai tertumbu pada air sungai yang sangat bening itu yang terlihat seperti
kaca hitam. Rasa cemburu terbit di hatiku. Ia lebih terpesona pada sungai itu dan
mengabaikanku.
“Tampaknya
kau lebih terpesona padanya dibanding padaku.” Aku mengerecutkan bibirku. Aidan
menoleh padaku. Ia tersenyum lantas tertawa kecil, dengan puasnya ia mengusap
usap kepalaku.
“Kau
cemburu.” Ujarnya masih terkekeh. Tawanya begitu renyah.
“Apa Seine
mengingatkanmu pada sesuatu?” tanyaku. Ia berdeham sekali, sebelum ia menjawab
dengan gumaman “hm”.
“Dulu kau
dan Sandrine sering ke tempat ini, bukan?” aku mendelik.
Lagi-lagi ia
memandangi sungai itu penuh kekhusyukan. Ia menghirup nafas panjang dan
menghelanya dengan kasar. “Tidak penting.” Jawabnya datar. Aku menangkap
keengganan ia membahas nama itu.
“Lantas
kenapa kau membawaku ke sini?” aku memandangnya penuh keheranan. Pandangannya
tetap tak tergoyahkan, terpaku pada sungai Seine. “Ku pikir kau akan membawaku
jalan-jalan ke Eiffel, ke Notre Dame, museum Louvre atau Champs-élysées di sana
aku bisa melihat Arc de Triomphe dan Arc de Caroussel.”
Aku tidak
sungguh-sungguh mengatakan kalimat terakhir. Aku hanya menggodainya agar aku
tahu mengapa ia membawaku ke tempat ini. Aku sangat mengenalnya, dia tidak
begitu tertarik dengan wisata monumen, ia lebih suka berwisata alam.
“Aku suka
tempat ini, Saila.” Ujarnya pelan setengah berbisik. “Entahlah, pesonanya
selalu berhasil menghipnostisku. Aku tak tahu kenapa, seperti ada banyak yang
ingin dikatakan tapi aku tak pernah berhasil mengungkapnya. Lagi pula aku lebih
tertarik mengunjungi tempat-tempat yang berbau alam dibandingkan
monumen-monumen yang kau sebutkan tadi.” Lagi-lagi kata-kata terakhirnya
setengah meledekku.
Aku
mendengus.
“Ah... aku
ingat sesuatu tentang Seine!” seruku. Kali ini ia kembali menoleh padaku.
“Apa itu?”
“Victor
Hugo? Sastrawan Perancis pada abad 18 itu?” Aidan menggeleng-gelengkan
kepalanya. “Ayolah Saila... aku tak begitu tahu banyak tentang sastra
sepertimu.”
“Aku tahu
kau lebih suka membaca buku buku non fiksi setebal batu bata itu.” Kini aku
terkekeh. Ia hanya tersenyum dan kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya
sedikit memerah menahan malu.
“Kau tahu?
Inspekstur Javert bunuh diri di sungai ini.” kataku. “Inspekstur Javert adalah
polisi yang mengawasi Jean Valjean selama ia menjadi narapidana.” Aku mulai
bercerita.
“Kenapa ia
bunuh diri, Saila?” Aidan sepertinya tak sabar mengikuti ceritaku.
“Karena
idealismenya.” Jawabku pendek.
“Idealisme?
Memang kenapa dia?”
Aku tak
menggubris pertanyaannya dan melanjutkan ceritaku. “Jean Valjean akhirnya
berhijrah ke sebuah kota kecil setelah ia bebas dari penjara selama 19 tahun
lamanya dan selama itu ia harus bekerja rodi di pertambangan batu hanya karena
ia mencuri sepotong roti untuk mengganjal perutnya yang kelaparan.” Aku
menghentikan ceritaku sesaat. Sekilas ku lirik ia. Aidan mulai tertarik
mendengar ceritaku, pandangannya terpaku padaku sedangkan kini pesona Seine
beralih menyihirku hingga tak rela sedikitpun aku memalingkan pandanganku
darinya.
“Singkat
cerita di kota kecil itulah ia mengganti namanya dan diangkat menjadi walikota.
Semua masyarakat kota mencintainya karena kebaikan dan kebijakan lelaki itu. Akhirnya
setelah beberapa tahun kemudian takdir membawanya bertemu kembali dengan Javert
di kota itu.
“Hingga
akhirnya, Javert mengetahui dan bermaksud menangkap Jean Valjean, akan tetapi
sebelum itu terjadi Jean Valjean sempat menyelamatkan nyawa Javert. Javert
merasa berhutang budi, namun ia juga harus tetap menegakkan hukum. Akhirnya ia
dilema, hingga akhirnya ia memborgol kedua tangannya dan menceburkan dirinya ke
sungai ini.” aku mengakhiri ceritaku. Aku menoleh padanya. Ia masih
memandangiku. “Kenapa kau memandangku seperti itu?”
“Aku suka
dengan cara berceritamu, Saila. Kau memang cerdas.” Pujinya.
“Gombal.”
Aku menyikut lengannya. “Ayolah... aku tahu aku ini cerewet dan sebenarnya
itulah yang ingin kau katakan padaku, bukan?”
Aidan
tersenyum.
“Apa kau ingin mengatakan bahwa banyak orang
yang terbelenggu karena idealismenya?” Aidan mengusap wajahnya yang tampak
letih sehabis pertandingan melawan klub no. 1 di kota ini malam tadi.
“Hm... tidak
semua idealisme itu buruk.”
“Maksudmu?”
ia menatapku sejenak sebelum pandangannya beralih pada si cantik, Seine. Aku
mengusap usap lengan kanannya.
“Seperti
idealis pada keyakinan kita.” Ujarku.
“Idealis
terhadap syariat maksudmu? Seperti saat ini kau tetap mengenakan jilbab di
Eropa, khususnya di kota ini?” Aidan mempertegas. “Seperti kita yang berusaha
menghindari wine dan daging babi yang
di sini tampak biasa dan wajar.”
“Kau merasa
keberatan dengan semua itu, Kak Aidan?” tanyaku.
“Tidak sama
sekali. Menjalankan syariat di negeriku memang memiliki tantangan sendiri, tapi
aku sangat yakin semua itu untuk kebaikan kita dan takkan pernah merugikan
orang lain.” Aidan memejamkan mata dan dihirupnya udara senja yang semakin
dingin.
“Well, tapi cerita inspekstur Javert dan
Jean Valjena itu fiksi bukan?” Aidan menghela nafas. Pandangannya mulai
mengawang.
“Lalu kenapa
dengan fiksi?” aku memalingkan wajahku darinya setengah cemberut.
“Fiksi
tetaplah fiksi, tidak nyata bukan?”
“Nyata atau
bukan, kita masih tetap bisa mengambil pelajaran dari kisah yang diceritakan. Bisa
jadi pada saat itu memang ada polisi seidealis Javert. Bukankah novel adalah
cermin dari masyarakat saat itu? itulah yang dikatakan Stendhal.”
“Bisa jadi.”
Aidan mengangguk-angguk. “Eh? Stendhal? Sastrawan Perancis juga?” tanyanya. Aku
mengangguk.
“... dan
asal kau tahu. Sebuah fiksi bisa lebih mempengaruhi pembaca dibanding karya non
fiksi. Para pembaca lebih seolah diajak menyaksikan kejadian tokoh, diajak
diskusi oleh penulis dan diberi kesempatan untuk mengambil hikmah sendiri.
Berbeda seperti nonfiksi, penulis serasa menggurui. Setidaknya itu pendapatku.”
Cerocosku tak mau kalah.
“Kau benar.”
Aidan mengalah. “Harus aku akui bahwa kau memang sangat cerdas, tapi aku
sendiri lebih suka hal-hal yang sifatnya to
the point, meskipun kesannya digurui.” Paparnya. Sejenak ia merenung, “aku
jadi paham satu hal Saila.”
“Apa itu?”
“Setiap
orang bisa belajar dengan caranya sendiri. Seperti kau yang belajar dari hikmah
sebuah cerita, sedangkan aku lebih suka hal-hal yang langsung kepada pokok
keilmuannya.” Aidan kembali tersenyum. Senyuman yang tak pernah membuatku bosan
meskipun ia telah melakukan hal itu ratusan kali. Senyuman yang memamerkan
deretan gigi-giginya yang kecil, putih, dan rapi.
Aku merasa
angin Paris yang mengehembus semakin dingin menyucuk. Tak sadar gigiku
bergemelutuk. Aku belum bisa beradaptasi baik dengan iklim di benua biru.
“Dimana
jaketmu?” tanya Aidan cemas melihatku yang mulai menggigil.
“Aku
meninggalkannya di Hotel.” Jawabku datar.
“Aku harus
meyakinkan diriku sendiri kalau istriku ini tidak hanya cerdas, tapi...”
kata-katanya terhenti. Ia mulai melepaskan jaketnya dan memakainya padaku.
“Tapi apa?”
tanyaku mendahului.
“Ceroboh.”
Ia kembali mengusap-usap kepalaku gemas. Ku balas mencubit pinggangnya gemas.
Ia meringis kesakitan.
“Kak...”
panggilku.
“Mmm?” dia
bergumam.
“Karena
kemarin kau telah mencetak gol dan memberikan dua assist yang membawa timmu menang. Aku punya hadiah untukmu.”
Kataku. Aku langsung menyerahkan sebuah kotak dalam paper bag yang sedari tadi ku tenteng padanya.
“Hadiah?” ia
langsung sumringah. Dikeluarkannya kotak itu dalam paper bag. Kemudian dibukanya kotak itu.
“Buku?Islamic Parenting?” ia merapalkan judul
buku yang aku hadiahkan padanya. “Apa ini maksudnya?” senyumnya belum reda dari
bibirnya meskipun ia menatapku dengan penuh tanda tanya.
“Kau
melupakan satu benda yang tertinggal di kotak itu.” ujarku datar. Ia kembali
menengok ke dalam kotak. Ia mengambil benda kecil itu dan mencermatinya. Tak
harus menunggu lama, senyumnya langsung meledak. “Kau hamil, Saila?” ia
mengacungkan testpack dengan dua
garis merah yang sengaja ku masukkan ke dalam kotak.
“Bukan buku
ini yang sebenarnya ingin ku hadiahkan padamu, tapi buku itu hanya perantara
untuk mengabarkan janin ini padamu. Inilah hadiah yang sesungguhnya.” Ucapku
sambil ku elus perut dengan tangan kananku. “Selamat, sebentar lagi akan
menjadi ayah.” Bisikku diiringi senyuman terbaik dariku. Aidan turut mengusap
perutku. Tawanya masih belum mereda. Nafasnya tersengal-sengal tak karuan
saking bahagianya.
“Sungguh
Saila, bahkan aku sampai sulit bernafas mendengar kabar ini.” Matanya mulai berkaca-kaca.
“Boleh aku
minta satu hadiah lagi darimu?” tanyanya.
“Hah?” aku
terkejut. “Dikasih hati minta kepala.” Aku bersungut.
Seolah tidak
mempedulikanku, Aidan meneruskan permintaannya. “Maukah, kau jadi pemanduku
selama aku berlibur di Bandung musim panas nanti. Aku ingin mengenal
sudut-sudut kota itu.”
“Masya
Allah...” jantungku serasa melonjak dari tempatnya. Kini giliran aku yang sulit
bernafas. “Tentu aku mau, ini namanya kau yang balik memberiku hadiah!” Aku
melompat-lompat kegirangan. Bagaimana tidak senang, aku sudah begitu merindukan
kotaku, negeriku, tanah syurgaku.
“Aku sudah
tahu sejak lama kau begitu merindukan Indonesia bukan? Dasar anak ibu, baru beberapa
bulan di Eropa saja sudah homesick..” ia
mencubit hidungku gemas. Aku segera menepisnya.
“Nyaris satu
tahun...” aku meralat. Senyumnya belum mereda dari wajahnya yang masih tampak
lelah setelah seharian kemarin ia menguras tenaga dan pikirannya untuk
pertandingan itu. Tampaknya ia masih tak ingin menghentikan senyumannya.
“Kini aku
yang ingin mengajukan permintaan padamu.” Ujarku memelas. Aidan menatapku
heran.
“Apapun...
apapun itu.” katanya.
“Bisakah
kita mencari tempat duduk atau pergi dari tempat ini? Aku tak bisa berdiri
lebih lama sepertimu berdiri. Kakiku mulai sakit.” Keluhku. Aidan terkekeh.
Tanpa kata-kata, Aidan menarik tanganku dan mengantarku pulang ke hotel sebelum
ia kembali ke hotel dan bergabung bersama teman-temannya yang sudah bersiap
untuk kembali Inggris.
Assalamu'alaikum cerpen yang sangat bagus ukhti
ReplyDeleteKangen sama audan dan saila...
ReplyDelete