“Aku tersesat!” Kalimat itu masuk di roomchat
ponsel kami. Aku hanya tersenyum-senyum tanpa sedikit pun minat untuk membalas
pesanmu. Ku biarkan Raka yang sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan
membimbingmu menemukan kafe tempat berkumpul saat ini.
Selang beberapa menit kau telah datang dengan nafas terengah-engah. Ada
yang berbeda denganmu, kau tak lagi tampil dengan rok katun dan kemeja formalmu
sebiasanya. Kini ku akui kau tampak anggun dengan gaun merah jambu bermotif
bunga-bunga kecil. Sebuah ikat pinggang cokelat yang melingkar di perutmu
membuatmu tampil lebih modis dari biasanya. Oh weekend! aku sekarang mengerti
kenapa kau bisa berpakaian bebas.
“Maaf.” Ucapmu dengan senyum kuda yang biasa kau pamerkan saat berbuat
salah. Kau duduk di hadapanku yang persis hanya tersekat meja. Aku melirikmu
sekilas dan kembali ku mainkan ponselku berpura tak acuh padamu. Aku hanya
ingin menyembunyikan desiran darahku yang menderas serta kekikukan yang meringkusku
seiring dengan kedatanganmu.
“Ehm...” aku sengaja berdeham sebelum memulai berbicara. Lebih tepatnya aku
mencari perhatian kau dan Raka yang justru malah asyik dengan gadget masing-masing. Kalian dengan kompaknya
menyimpan benda-benda itu dan seketika mengalihkan perhatiannya padaku.
Aku mulai mengutarakan program kerjaku satu persatu. Ku jelaskan serinci
mungkin agar aku terlihat cerdas di depanmu. Nyatanya, kau tidak begitu
antusias mendengarkanku. Kau menyimaknya dengan wajah dingin tanpa ekspresi dan
sesekali kau menanggapiku dengan menguap. Ah, rupanya kau bosan!
Presentasiku selesai tepat saat makanan pesanan kita datang. Kau segera menyantapnya
dengan begitu elegan. Kurang ajar! semakin ku lihat dirimu detak jantungku
semakin bertalu tak karuan. Ku pikir dengan mengalihkan tatapanku darimu adalah
cara terbaik untuk mengembalikan kestabilan detak jantungku. Ternyata aku tak
bisa! Kau memiliki magnet yang selalu memaksa pandanganku beralih padamu. Aku
lebih suka memandangmu dan membuka percakapan-percakapan untuk mencairkan
kebekuan di antara kita.
“Hei, boleh aku cicip milikmu?” Aku mengambil pastamu dengan menggulungkannya
di garpuku tanpa menunggu kau mengizinkanku terlebih dahulu.
Kau hanya mengangguk sambil menatapku dengan tatapan heran. Juga, Raka ikut
tercengang melihatnya. Adakah yang aneh dengan sikapku? Rasanya wajar saja
sebagai sebagai teman, pikirku.
Lantas kau kembali dingin dan tak acuh. Nampaknya kau tak terlalu lama ambil
pusing lagi dengan sikapku dan kembali larut menyantap makananmu yang tinggal setengah.
Rupanya kau lebih tertarik pada makananmu dibandingkan dengan aku yang sedari
tadi sibuk mencari perhatianmu. Tidak tahukah kau bahwa aku tengah memeras
otakku untuk mencari cara agar bisa melelehkan bongkahan es di antara kita?
***
Aku berharap sesegera mungkin meninggalkan tempat itu saat acara makan
siang kita usai. Aku tak bisa bertahan terlalu lama duduk di depanmu. Segera ku
buru taksi dan ku hempaskan tubuhku di jok belakang. Ku hela napas panjang yang
akhirnya ku hembuskan perlahan. “Apa yang kau lakukan, Rei?” hatiku membisik.
Kau pikir, aku tak tahu bahwa selama pertemuan itu pandanganmu berulang kali
mendarat padaku. Apa yang kau lakukan dengan mencoba meleburkan keseganan dan
formalitas di antara kita. Ingat Rei! Kita hanya rekan bisnis. Kau harus
menjaga batasan itu agar tetap berada di jalurnya. Dan, memang harus semestinya
seperti itu.
Apa yang kau lakukan, Rei? Kau pikir aku tidak bisa merasakannya?
Apa kau pikir aku tidak tahu bahwa kau ingin melabrak sekatan-sekatan di
antara kita? Cukup dengan pesan-pesan terkirim yang sebenarnya hatiku tak
pernah bisa berkompromi dengan itu.
Dengarkan aku, Rei!
Aku adalah pesakitan yang baru akan kembali tumbuh. Jika saja bukan karena
luka yang masih menderai di balik dada ini. Kau bisa membuatku mengangkasa
menyentuh langit dengan sikap manismu, lantas kau bisa seenaknya menghempaskan
aku ke bumi. Sayang, kau salah Rei!
Aku tidak ingin kembali terjatuh karena kebodohan yang sama. Sekali lagi
dengarkan aku, Rei! Simpan semuanya, jangan pernah kau tawarkan padaku. Karena
aku tak pernah peduli. Telah ku kunci serapat mungkin. Aku tak ingin ada luka
di atas luka.
***
Malam itu, terangnya bulan tersenyum satir padaku. Jeritan katak dan
jangkrik beramai-ramai menertawakan kebodohanku. Sampai kapan aku terdiam
menunggu mentari melelehkan bongkahan es yang mengkerangkengmu. Aku terlanjur
gila menyulam rasa ini sendiri.
Aroma pesonamu terbawa hingga kamar tiga kali tiga meter ini. Kesunyian
membisik namamu. Pun, kegelapan yang akhirnya melukis wajahmu yang polos tanpa
sapuan kosmetik.
Aku tak bisa meredam rasa yang semakin kurang ajar ingin merobek hatiku. Membuat
jantungku nyaris meledak karena detaknya yang berpacu semakin hebat. Izinkan
aku hanya untuk mengucapkan,
“Aku mencintaimu, Sa.”
Telah ku ketik kata itu dalam Smartphone-ku.
Hanya tinggal ku tekan tombol enter yang akan menyampaikan pesan itu padamu.
Lantas... ku urungkan kembali niatku. Ku hapus semua huruf-huruf yang telah ku
susun itu, sekaligus ku hapus ide gila itu dalam benakku. Aku tahu kau takkan
pernah terima. Aku cukup tahu, cinta lebih anggun dalam diamnya. Kau tak perlu
tahu. Cukup. Itu saja.
Comments
Post a Comment