Seperti pada senja-senja sebelumnya. Senja kali ini ia berdiri di bibir
pantai dengan air laut yang membenam hingga mata kakinya. Rutinitas itu seakan
telah diiringi tendensi kata “wajib”. Pandangannya tertumbuk pada sinar
kemerahan sang mentari lelah yang balik menusuk kedua matanya. Nafasnya masih
beraturan sama dengan ritme yang demikian syahdu. Kali ini lebih tenang dari
biasanya. Bibirnya masih terkatup, namun kali ini tertarik simetris ke kiri dan
ke kanan. Tangannya terentang bersiap memeluk hembusan angin. Seakan itulah
sayapnya yang akan membawa ia melambung menyentuh awan.
Perlahan kelopak matanya mulai turun. Lantas purna menutup bola mata
hitamnya. Seperti ritual yang biasa ia jalani. Ia telah bersiap menyimak
bisikan angin di gendang telingannya. Kali ini tak ada suara yang berbisik
tentang Safir dan Zamrud. Tidak pula hanya sekedar menanyakan kabarnya yang
bahkan semesta tahu benar ia bukan hanya baik-baik saja.
Jiwanya tengah terbang
bersama camar yang terbang melintasi samudera biru di hadapannya.
“Aku tak perlu Safir.” Bisiknya. Nafasnya tiba-tiba menjadi memburu menahan
buih-buih bahagia yang meluap di hatinya. “Karena aku sudah menggenggam dua
zamrud.” Tambahnya.
Sunyi, sekali lagi hanya suara hembusan angin yang riuh di sekitarnya. Senyumnya
semakin tersimpul, meski ia tahu tak ada suara yang menanggapi gumamannya.
“Rindu itu sudah tertafsir.” Ia kembali bergumam. “Nyaris. Nyaris
tertafsir.” Ia meralat kalimatnya.
Ia membuka matanya perlahan. Pantai masih ribut dengan suara desiran angin
dan deburan ombaknya. Kulit-kulit kerang masih membisu di pasir. Karang masih
kokoh di tempatnya semula. Mentari nyaris sempurna tenggelam di sudut barat
sana. Ia membalikan tubuhnya, meninggalkan ombak yang berusaha mengejar
langkahnya. Sejenak ia menengok ke belakang. Menatap samudera yang luas
membentang.
“Ia tahu. Sang Maha Cahaya tahu, tapi Ia menunggu...” bisiknya.
Dilemparkannya senyuman terbaik yang pernah terbit di bibirnya. Lantas ia
kembali melanjutkan langkahnya. Pulang.
Comments
Post a Comment