Pandangan itu masih tertuju pada hamparan samudera. Ia hanya diam tak bergeming saat deburan ombak kecil merendam telapak kakinya. Matanya mulai terpejam perlahan. Telinganya bersiap menyimak hembusan angin yang membisik. Tangannya terentang memeluk udara. Nafasnya naik turun beraturan, bernada dengan ritme yang syahdu. Bibirnya terkatup rapat membungkam terkunci, bila saja anak kuncinya telah hanyut di bawa ombak. “Hai...” kesunyian bebisik angin berubah hangat dengan sekelebat suara yang menyapa. Ia masih bungkam. “Apa kabar?” tanya suara itu mengusik ketenangannya. “Selalu lebih baik dari yang sebelumnya.” Jawabnya tipis. Ia masih menikmati setiap hempasan angin di wajahnya. “Dan kau?” Hening beberapa saat. Hanya deburan ombak dan tiupan angin yang menguasai. “Aku jauh lebih baik setelah melewati masa sulit.” Akhirnya suara itu kembali. Mestinya jawaban itu menjadi jawaban terbaik yang menerbitkan bulan sabit di bibirnya. Namun sebaliknya, hatinya perih pilu. Ia tahu...