Pandangan itu masih tertuju pada hamparan samudera. Ia hanya diam tak
bergeming saat deburan ombak kecil merendam telapak kakinya. Matanya mulai
terpejam perlahan. Telinganya bersiap menyimak hembusan angin yang membisik.
Tangannya terentang memeluk udara. Nafasnya naik turun beraturan, bernada
dengan ritme yang syahdu. Bibirnya terkatup rapat membungkam terkunci, bila
saja anak kuncinya telah hanyut di bawa ombak.
“Hai...” kesunyian bebisik angin berubah hangat dengan sekelebat suara yang
menyapa. Ia masih bungkam.
“Apa kabar?” tanya suara itu mengusik ketenangannya.
“Selalu lebih baik dari yang sebelumnya.” Jawabnya tipis. Ia masih
menikmati setiap hempasan angin di wajahnya. “Dan kau?”
Hening beberapa saat. Hanya deburan ombak dan tiupan angin yang menguasai. “Aku
jauh lebih baik setelah melewati masa sulit.” Akhirnya suara itu kembali.
Mestinya jawaban itu menjadi jawaban terbaik yang menerbitkan bulan sabit
di bibirnya. Namun sebaliknya, hatinya perih pilu. Ia tahu bahwa ‘jauh lebih
baik’ itu tak pernah melibatkan dirinya. Ia paham bahwa ‘jauh lebih baik’ itu
berarti membuatnya terhempas jauh dari area kehidupannya. Tidak pernah sedikitpun
memberi ruang bagi ia untuk membuatnya ‘jauh lebih baik’.
“Baguslah...” ia menjawab dengan nada bergetar.
“Kau mengerti tentang batu safir dan zambrud?” suara itu kembali membisik.
“Apa yang kau ingin katakan tentang kedua batu permata itu?” Ia segera
menyahuti saat suara itu baru saja menyelesaikan perkataannya.
“Kita.” Bisik suara itu.
“Kita?” ia mengulang. Pendengarannya mulai menajam. Hatinya mulai dipenuhi
tanda tanya.
“Kau miliki zambrud dengan hijau pesonamu. Akan ku genggam safir biru
dengan kilaunya.”
“Kemustahilan?” tanyanya memotong tutur suara itu.
“Tak ada kemustahilan.” Suara itu membisik syahdu memberi ketenangan di
balik dadanya.
“Lantas, dengan jalan mana yang akan menyampaikanku padamu?” ia meratap,
suaranya semakin parau menekan perih di tenggorakannya.
“Dengan jalan bermandikan cahaya dari Sang Maha Cahaya.” Suara itu hanyut
bersama angin, menelisik di gendang telinganya, mengalir ke sanubarinya. Suara
itu terlebur bersama angin. Sunyi kembali, hanya deburan ombak dan desiran
angin yang berlagu di telinganya.
Ia membuka matanya. Sepi. Masih sendiri bersama rona senja yang mulai
tenggelam di ujung samudera. Masih sepi bersama air laut yang menenggelamkan
pergelangan kakinya.
Comments
Post a Comment