Skip to main content

[Cerpen] Rindu tanpa Tafsir



Pandangan itu masih tertuju pada hamparan samudera. Ia hanya diam tak bergeming saat deburan ombak kecil merendam telapak kakinya. Matanya mulai terpejam perlahan. Telinganya bersiap menyimak hembusan angin yang membisik. Tangannya terentang memeluk udara. Nafasnya naik turun beraturan, bernada dengan ritme yang syahdu. Bibirnya terkatup rapat membungkam terkunci, bila saja anak kuncinya telah hanyut di bawa ombak.
“Hai...” kesunyian bebisik angin berubah hangat dengan sekelebat suara yang menyapa. Ia masih bungkam.
“Apa kabar?” tanya suara itu mengusik ketenangannya.
“Selalu lebih baik dari yang sebelumnya.” Jawabnya tipis. Ia masih menikmati setiap hempasan angin di wajahnya. “Dan kau?”
Hening beberapa saat. Hanya deburan ombak dan tiupan angin yang menguasai. “Aku jauh lebih baik setelah melewati masa sulit.” Akhirnya suara itu kembali.
Mestinya jawaban itu menjadi jawaban terbaik yang menerbitkan bulan sabit di bibirnya. Namun sebaliknya, hatinya perih pilu. Ia tahu bahwa ‘jauh lebih baik’ itu tak pernah melibatkan dirinya. Ia paham bahwa ‘jauh lebih baik’ itu berarti membuatnya terhempas jauh dari area kehidupannya. Tidak pernah sedikitpun memberi ruang bagi ia untuk membuatnya ‘jauh lebih baik’.
“Baguslah...” ia menjawab dengan nada bergetar.
“Kau mengerti tentang batu safir dan zambrud?” suara itu kembali membisik.
“Apa yang kau ingin katakan tentang kedua batu permata itu?” Ia segera menyahuti saat suara itu baru saja menyelesaikan perkataannya.
“Kita.” Bisik suara itu.
“Kita?” ia mengulang. Pendengarannya mulai menajam. Hatinya mulai dipenuhi tanda tanya.
“Kau miliki zambrud dengan hijau pesonamu. Akan ku genggam safir biru dengan kilaunya.”
“Kemustahilan?” tanyanya memotong tutur suara itu.
“Tak ada kemustahilan.” Suara itu membisik syahdu memberi ketenangan di balik dadanya.
“Lantas, dengan jalan mana yang akan menyampaikanku padamu?” ia meratap, suaranya semakin parau menekan perih di tenggorakannya.
“Dengan jalan bermandikan cahaya dari Sang Maha Cahaya.” Suara itu hanyut bersama angin, menelisik di gendang telinganya, mengalir ke sanubarinya. Suara itu terlebur bersama angin. Sunyi kembali, hanya deburan ombak dan desiran angin yang berlagu di telinganya.
Ia membuka matanya. Sepi. Masih sendiri bersama rona senja yang mulai tenggelam di ujung samudera. Masih sepi bersama air laut yang menenggelamkan pergelangan kakinya.


Comments