Malam telah sempurna memeluk kota itu
saat hujan mulai mereda setelah ia turun menggemparkan dengan ribuan kubik
airnya yang tumpah ruah. Udara dingin mulai menusuk ke sumsum setiap orang.
Baginya, dingin pun turut menyusup ke palung hatinya. Gadis itu terduduk di
pojok ruang tamu. Tangannya menekan dada kirinya, ada perih yang sulit dieja
olehnya. Sesekali matanya melirik ponsel, masih tak ada sms dari orang yang
mengajaknya pergi malam itu. Ia merapatkan jaketnya saat udara beku mulai
menghembus. Sesekali ia menghembus nafasnya kasar. Matanya kembali melirik ke
layar ponselnya, masih kosong. Hanya ada gambar dirinya yang telah ia tetapkan
sebagai wallpaper. Ia memandangi jam
digital di ponselnya, hampir menunjuk ke arah 19.00
Jadi gk?
Udah nyampe mana?
***
“Untuk kesekian kalinya...” Gadis itu
mengirimkan pesan padanya.
“Memang kenapa?” balas seseorang.
“Tidak apa-apa. Memang harus begini.”
Jawab gadis itu. “Tapi tak apa-apa, aku tak seperti yang kita prediksi kemarin.”
Tambahnya.
“Baguslah. Hari ini kau ada di kosan?”
tanya kawannya.
“Ada. Memang ada apa?” gadis itu
keheranan.
“Ikut denganku. Malam ini kita jalan
yuk.” Ajaknya.
***
Malam cukup pekat. Bukan karena
benar-benar telah larut. Awan hitam selepas hujan tadi masih bersisa. Jalanan
begitu padat, angkutan yang mereka tumpangi merayap seperti kura-kura yang
kelaparan. Kedua gadis itu termangu di sudut jok memberi ruang kebisuan untuk
berkuasa. Pandangannya mulai menerawang merayapi kepekatan malam menembus kaca jendela angkutan itu. Pikirannya
berlari pada kejadian pagi tadi, sedang hatinya mulai mengeja luka yang
tertoreh. Sedangkan kawannya masih sunyi dengan dunianya. Entah apa yang
dirapalkan dalam pikirannya. Mungkin ia lelah setelah seharian bergerak seperti
kutu loncat yang tak bisa berdiam. Hingga akhirnya malam ini batrenya sudah
mencapai titik low. Tak berapa lama
keduanya turun dari angkutan itu. Mulai menyusuri trotoar yang bertabur cahaya
lampu jalanan. Bagi keduanya, malam itu
pertama kalinya mereka menapakan kaki di tempat yang sebenarnya tak asing lagi.
Hingga
akhirnya keduanya sampai di sebuah tempat makan. Mereka memilih tempat agak
terpojok agar keduanya bisa bebas mengeluarkan unek-unek yang tertahan. Alunan
musik langsung menyapa gendang telinga. Syahdu, lembut, melankolis, menghanyutkan
sekaligus meresahkan hati. Keduanya duduk berhadapan.
“Ayo ceritakan padaku.” Ujar kawannya
menatap gadis itu setelah keduanya memesan makanan. Gadis itu menghela nafas
sejenak.
“Tidak ada yang perlu diceritakan lagi.”
Ujarnya malas.
“Ayolah...” kawannya mulai memaksa.
“Aku...” gadis itu mulai menuntun
otaknya menyusun kata-kata. “Kau dulu saja. Apa yang ingin kau katakan?”
Kawannya mulai bercerita tentang
rencana-rencana yang telah disusunnya. Gadis itu sesekali tersenyum menanggapi
ketidakilmiahan yang menurutnya lahir dari orang yang ia anggap paling ilmiah
itu.
“Begitulah...” kata kawannya mengakhiri
ceritanya. Gadis itu kembali menghela. Matanya berputar-putar seolah mencari
susunan kata terbaik untuk memuntahkan isi hatinya, agar temannya paham apa
yang ia maksud.
“Bukan masalah waktu, tapi frekuensi
yang menyapaku sebenarnya.” Gadis itu memulai. Kata-katanya kembali terhenti
saat seorang pelayan datang dengan dua gelas ice lemon tea ditangannya. Gadis itu tersenyum dan mengucapkan
terimakasih pada si pelayan sebelum pergi.
“Ada saatnya engkau berada di titik
putus asa. Ada saatnya engkau berada di titik marah. Lantas kau bertanya,
mengapa harus terus begini.” Gadis itu mulai bertutur. Tanggul pertahanan di
hatinya bobol. Kata-katanya tak terbendung lagi. Matanya mulai mengembun.
“Karena kau yang mampu, aku tak yakin
aku tak mampu melaluinya.” Jawabnya.
“Tapi aku lelah...” kata-katanya
terhenti.
“Pernah tidak kita merasa ingin sesuatu
yang tak tertahan?” keduanya mengatakan kalimat itu bersamaan.
“Ya... kau mengerti itu. Kita
mengalaminya sekarang.” tutur gadis itu.
“Bahkan ada kalanya aku benar-benar
merintih.” Kawannya menambahkan.
Obrolan mereka terhenti. Gadis itu
meraba hatinya. Masih perih. Luka itu belum mengering. Hanya ada tawa yang
akhirnya melumerkan kekacauan hari itu. Kekacauan yang tak kasat mata
orang-orang sekitar. Kekacauan yang hanya ada di sini. Di sudut hati yang tak pernah tertafsir.
Comments
Post a Comment