Skip to main content

Software Shalehah

"Aku ingin shalehah." Ujarnya.Aku menatapnya sejenak. Seraut wajah serius ditunjukkannya di hadapanku. Hm.. seserius apapun, ekpresi kekanak-kanakannya tak pernah luput dari wajahnya yang imut.
"Langsung aja..." jawabku singkat seraya kembali kualihkan pandanganku pada monitor yang telah penuh dengan ribuan kata dari tugas akhirku. Jariku masih meloncat-loncat dari tombol satu ke tombol lainnya diatas keypads yang terbungkus plastik.
"Caranya?" tanyanya polos. "Please... tolong dong, installkan software shalehah padaku." lanjutnya merajukku. Sudah ku duga. seberapa lama kau mampu bersikap serius?
Meski demikian, setiap keinginan yang dia ajukan tak pernah sedikitpun ku ragukan keseriusannya walau setiap kali dia mengutarakannya dengan kekonyolannya dan tingkah kekanak-kanakannya.
"Hm..." aku berpikir sejenak. Menghentikan aktivitasku mengetik tugas akhirku yang harus segera ku selesaikan. Kemudian aku kembali mengetik.
Dia turut tercenung mengikutiku, hingga beberapa saat kesunyian mengambil alih obrolan kita. Hanya suara keypads yang ramai di ruang 3x3 itu.
"Menurutmu, shalehah itu apa?" tanyaku tanpa menoleh kearahnya.
"Shalehah itu ya mbak? hm..." dia tampak berpikir. Ku lirik dia sebentar sekedar memastikan bahwa dia baik-baik saja dengan pertanyaanku. Kedua matanya berputar-putar dibawah kelopak matanya.
"Shalehah itu... multitalenta. Bisa melakukan apapun, mandiri, tegar saat mengalami ujian, rajin ibadah, dan tentunya berakhlak cantik." Ujarnya menguraikan pemahaman dia tentang definisi shalehah.
Aku manggut-manggut tanda setuju.
"Installkan dulu software 'tawakal' dihatimu." bisikku seraya ku tepuk bahunya.
"Tawakal ya?" dia mengulang kata yang ku tekankan tadi. "Caranya?"
"Berdo'alah mohon diberikan kekuatan untuk bertawakal saat kau berazzam."
"Bahkan untuk tawakal saja, kita harus memohon??" ujarnya histeris.
"Yups."balasku tenang.
Dia kembali tercenung lama sekali. Entah mencerna kata-kataku, entah imajinasinya berlari kesana kemari. Aku sendiri masih hanyut dengan tugas akhirnya yang semakin cantik setelah aku make over.



***
"Aku lelah..." keluhnya. Tubuhnya segera menggelosor di lantai kamarku yang berlapis karpet biru. Aku tengah sibuk menyusun kertas-kertas print out  tugas akhirku saat itu.
"Kenapa?" tanyaku, ku tatap wajahnya lekat. Kusut. Seperti lukisan abstrak yang menutupinya. Tak ada lagi keceriaan yang biasa mengiringinya. Mengerikan sekali, setiap aku kehilangan keceriannya yang seolah tak pernah luput darinya. Hilangnya keceriaan itu pertanda ia memang sedang menghadapi masalah yang benar-benar serius. Dia balas menatapku, tanpa kata-kata yang terurai dari bibirnya lantas aku paham maksudnya.
"Astagfirullah. Hati-hati, mungkin apa yang kau lakukan pelarian dari rasa putus asamu." seruku, aku mengelus dadaku.
"Mungkin iya. Tapi salahkah? aku hanya takut keimananku terenggut, aku takut kembali tergelincir. Kau tak pernah tahu bagaimana lingkunganku. Kau tak tahu jalan yang aku lalui. Aku iri pada mereka... aku iri padamu. Aku iri mengapa kau dan mereka bisa hidup nyaman tanpa rasa cemas kalau-kalau suatu saat aku tergelincir, lupa dengan prinsipku, lupa dengan agamaku, dan lupa pada Allah."
Tangisnya pecah, dan ia mulai tergugu membenamkan wajahnya dibalik lipatan tangannya. Aku tercenung melihatnya. Aku paham apa yang dia rasakan, aku paham betapa ketakutannya dia.
Aku mengelus punggungnya.
"Aku yakin kamu bisa melewatinya. Aku yakin kau adalah salah satu orang yang Dia pilih untuk dikuatkan. Jika kau mampu, kau akan menjadi muslimah yang kuat. Tak semua orang bisa, tapi kau bisa."
"Tapi aku takut. aku lupa dan tergelincir, mungkin sekarang aku bisa menyadarinya? bagaimana dengan nanti?" tanyanya sesegukan.
Aku menghela nafas, mengisi ruang paru-paruku dengan udara sebanyak mungkin.
"Kau tak menyadari, rasa takutmu itu sebenarnya adalah sebentuk kesadaranmu untuk menjaga diri."
Dia mengangkat wajahnya. Di seka air mata yang mengalir di pipinya yang putih dan bersih dengan punggung tangannya.
"Kau tahu tidak?" tanyaku padanya.
"Apa?" dia balik bertanya.
"Allah sedang menginstalkan 'software shalehah' pada dirimu. Jika kau bisa mengikuti permainanNya dengan baik, dan ridho. Software itu akan sukses terinstal di dirimu." lanjutku. "Kau ingat tidak? Dulu kau pernah bilang kau ingin menjadi muslimah yang tegas, kuat, cerdas, mandiri dan berprestasi?".
Ia segera mengangguk cepat.
"Nah, mungkin dengan jalan inilah Allah sedang menginstall software shalehah yang kau dambakan itu." tambahku
Senyumnya segera mengembang. 
"Dan perlu kau tahu, menginstall software ini, tak semudah dan secepat menginstall software game house di laptopmu." godaku dengan sedikit penekanan pada aktivitas favoritnya. Aku mencolek hidungnya yang mancung di antara dua pipinya yang chubby.
Dia tertawa, "Cooking academy? dan farm frenzy?" tanyanya yang justru mempertegas permainan yang paling dia sukai.
Aku mengangguk. "Yang terpenting mujahadah kita perlu ditingkatkan, dan nikmati mujahadah itu sebagai proses memangkas jarak antara kau denganNya, bukan sebagai beban."
Aku mengerlingkan mataku ke arahnya. Tawa riangnya kembali hadir dan memecah kemuraman yang dia bawa tadi.



Comments