Skip to main content

Dandelion


Mentari semakin merunduk di ufuk barat, sisa cahayanya masih menelusup di Jendela Masjid. Shalat Ashar berjamaah yang diimami Ust. Dadan hampir berlalu satu jam yang lalu. Meski demikian seperti biasanya masjid ini selalu ramai oleh jamaah. Beberapa orang sedang shalat ashar, mungkin mereka masih memiliki urusan saat adzan berkumandang, beberapa orang sedang tilawah, dan tak jarang pula yang sedang melafalkan al ma’tsurat sore. Aku baru saja menyelesaikan do’a rabithah dalam al ma’tsuratku, ketika Hilya yang duduk di sampingku dengan penuh semangat tengah menyelami muraja’ah hafalan juz 30-nya di surat An Nazi’at. Aku memperhatikannya dengan seksama. Ia meniti tiap makharijul huruf dan tajwidnya dengan hati-hati. Wajahnya terlihat tenang dan bening seperti permata. Tak heran jika orangtua kami menyematkan nama itu baginya.
“Fa’amma man khafa maa khooma rabbihi wannahannafsa ‘anil hawaa...” lirihnya.
“Wa’ama man khafa maa khooma rabbihi wa nahannafsa ‘anil hawaa...” aku mengoreksinya. Ia terkejut. Mengehentikkan bibirnya. Pandangannya yang sedari tadi tertumbuk pada lantai segera beralih pada wajahku. Keningnya mengkerut. Aku hanya mengangkat bahuku.
“Fa atau wa?” tanyanya kemudian.
“Wa’amma...” aku mengulang bacaanku, yang berarti menjawab pertanyaannya. “Dan wa nahannafsa... nun yang pertama gak di tasydid, yang di tasydid nun kedua.” Jelasku.
Ia malah memandangku penuh heran, kemudian membuka mushaf merah jambu kesayangannya, memperhatikannya dengan seksama. Lantas ia memandangku dan tersenyum. “Makasih sudah dikoreksi.” Ucapnya tulus.

Ia kembali mengulang ayat tersebut, kali ini sudah tepat dan melanjutkan ke ayat selanjutnya.
Tepat saat Hilya mengakhiri bacaannya, seorang wanita dengan belezer hitam yang tertutup jilbab lebar biru toscanya berjalan ke arah kami. Beliau melemparkan seulas senyumnya padaku yang sedari tadi menatapnya heran. Aku mengerutkan keningku mencoba mengenali sosok itu. Melihatku yang terheran-heran Hilya menengokkan wajahku dan melihat ke arah wanita itu.
“Hoalaaah... Mbak Zidna.” Seru Hilya. Aku baru tersadar akan sosok itu. Mbak Zidna itu salah satu saudari kami di sebuah organisasi sekaligus kakak bagi aku dan Hilya.
“Assalamualaikum, Hilya, Qisthi. Khaifa Imanuk?” Mbak Zidna menyalami Hilya terlebih dahulu kemudian aku.
“Alhamdulillah Yazid... Yazid aamiin...” Jawab Hilya riang penuh semangat seperti biasanya.
“Alhamdulillah, Yazid Insya Allah. Mohon do’anya aja mbak.” Aku menggenggam erat tangannya saat beliau menyalamiku.
“Aamiin... Semoga adik-adik mbak ini makin shalihah.” Ucapnya tulus.
“Aamiin Ya Rabb...!!!” Jawab aku dan Hilya kompak seperti adegan Furqan dan Azzam di Film KCB 1.
“Kalian ini makin kompak aja. Mbak seneng deh liatnya.” Mbak Zidna mencubit gemas pipi Hilya yang Chubby. Hilya pun meringis kesakitan. Di elusnya pipi yang kemerahan bekas cubitan Mbak Zidna tadi.
“Mbak, tumben shalat ashar disini?” seloroh Hilya. Mbak Zidna tersenyum malu.
“Iya dek, Mbak baru pulang kantor. Sengaja janjian disini sama suami. Mau pulang bareng.” Jelasnya ringan tanpa beban.
“Cieee...” Hilya tersenyum kegirangan. “Eh bukannya tempat kerja Mas Hasbi beda arah sama Masjid ini?”
“Beliau lagi raker di Cottage situ.” Tunjuk Mbak Zidna pada salah satu cottage hanya terhalang beberapa bangunan dari Masjid ini.
“Masalah yang kemarin sudah clear, mbak? Upss...” Aku keceplosan perihal masalah kemarin yang sempat beliau curhatkan padaku tentang suaminya. Hilya langsung melirikku.
“Masalah apa mbak Qis?” Matanya kini menumbukku. Aku hanya terpatung penuh bersalah.
Mbak Zidna malah tersenyum kembali. Melelehkan bongkahan es yang membekukan hatiku.
“Alhamdulillah, Allah yang memampukan dek.”
“Apaan sih mbak? Cerita dong...” bujuk Hilya manja. Seperti biasa ia selalu ingin tahu.
“Dek... udah ah. Nggak baik pengen tahu urusan orang, apalagi kalau bisa mengotori hati. Kalau udah takdirNya, nanti juga Allah yang akan memberi tahu.” Sergahku.
“Nah, mungkin memang sudah takdirNya Hilya tahu, Qis. Mbak ceritakan deh...” Mbak Zidna membetulkan tempat duduknya lebih merapat pada kami.
“Taqdir??” aku mengernyitkan dahiku lagi.
“Iya kalau dirimu tadi nggak keceplosan, Hilya juga nggak akan tahu kan? Lagian kita nggak baik bikin orang penasaran. Hm... semoga bisa bermanfaat buat adek-adek mbak ini. Insya Allah yang ini nggak akan mengotori hati.” Mbak Zidna mengelus bahu kami dengan kedua tangannya, tangan kananya padaku dan tangan kirinya pada Hilya.
“Nggak apa-apa gitu mbak?” tanyaku ragu.
“Insya Allah, nggak dek.”
Mbak Zidna tersenyum kembali, menghela nafasnya sejenak seolah mengeluarkan beban di hatinya.
“Begini dek...” Mbak Zidna hendak memulai ceritanya. Aku masih menatapnya tegang dan Hilya tampak antusias membuka telinganya siap menyimak.
“Kamu tahu kan dek, tempat kerja mbak itu campur. Ikhwan dan akhwat menyatu. Kadang mbak pun khilaf untuk menjaga diri. Mbak membaur seenaknya dan selalu mentoleransi diri dengan berbagai alasan...”
“Emang gak boleh ya mbak kita membaur?” Hilya memotong ceritanya. Lagi-lagi Mbak Zidna tersenyum.
“Kita boleh membaur, bukan berarti kita boleh melebur.” Jawabnya singkat.
“Melebur dan membaur? Apa bedanya?” Hilya kembali bertanya. Sedang aku masih waswas menyimak ceritanya.
Kini Mbak Zidna tak menjawab pertanyaan Hilya. “Yang jadi masalah sebenarnya adalah kedekatan Mbak dengan seorang ikhwan.” Nada suara Mbak Zidna semakin melemah. Tertunduk penuh penyesalan.
“Mbak ada affair dengan ikhwan itu?” tanya Hilya polos. Aku segera menyikut lengannya, pertanyaannya itu sudah diluar batas.
“Tidak seperti itu juga dek. Dulu sebelum mbak menikah dengan Mas Hasbi, beliau sempat menyimpan rasa pada mbak, tapi sekarang beliau pun telah menikah. Kedekatan itu berawal hanya karena kami merasa sebagai kawan lama yang di taqdirkan satu kantor bareng. Itu saja.” Mbak Zidna kembali mengehela nafas. Beliau membuka handphonenya yang berdering tanda sms masuk. Kemudian beliau tersenyum.
“Terus?” Hilya tampak tidak sabar dengan ceritanya.
“Bentar ya dek, balas sms dari Mas Hasbi dulu. Katanya beliau udah di Masjid, mau shalat ashar dulu, katanya nggak sempet shalat ashar di awal waktu karena terpotong raker tadi.”
Jarinya mulai bergerak lincah di atas handphone touchscreennya. Lalu ia simpan kembali ke dalam saku blezernya setelah selesai mengetik sms.
“Ya begitulah, ikhwan itu sering sms mbak. Lama kelamaan curhat ini itu, termasuk tentang istrinya yang masakannya kurang mantap, lupa bayar listrik, dan apapunlah. Mbak hanya ingin membantunya berpikir positif tentang istrinya. Kali saja kenyataannya tidak seperti demikian.
“Selang beberapa waktu, ternyata Mas Hasbi juga diuji yang serupa. Mungkin ini teguran untuk mbak juga dek. Allah taqdirkan bertemu dengan seorang akhwat yang belum menikah. Tidak jelas bagaimana awalnya, yang mbak tahu akhwat itu adalah tante dari siswa beliau. Ternyata kasusnya sama persis seperti mbak dek. Tapi dengan masalah berbeda yang dibawa akhwat itu. Mbak mulai menyadari ada yang nggak beres dengan pernikahan mbak. Tentu saja mbak cemburu pada kedekatan mereka. Akhirnya mbak dan mas Hasbi mengadakan tabayun. Rupanya Mas Hasbi jauh lebih cemburu dengan ikhwan itu sejak lama.” Butiran halus menyertai cerita mbah Zidna, beliau segera menyekanya.
“Apa ikhwan masih suka sama mbak? Dan akhwat itu juga suka mas Hasbi?” tanya Hilya berlagak dewasa.
“Entahlah... mbak nggak tahu dek, dan nggak mau tahu, yang mbak mau hanya menyelamatkan pernikahan mbak itu saja tidak lebih dan tidak kurang.”
“Terus hasil tabayun itu mbak?” kini giliran aku yang bertanya setelah sekian lama aku terdiam. Bagian inilah yang belum sempat mbak Zidna sampaikan padaku.
“Kami sepakat untuk menghentikan interaksi dengan mereka. Mbak berusaha untuk mengabaikan ikhwan itu dan berhasil. Ikhwan itu menjauh dengan sendirinya. Mas Hasbi pun demikian...”
“Beliau berhasil juga?” tanya Hilya cepat.
“Nyaris...” jawab Mbak Zidna singkat.
“Nyaris?” tanyaku.
Mbak Zidna mengangguk. “Tapi beberapa bulan kemudian mbak memergoki kedekatan mereka lagi.”
“Aaarrggghhh... Mas Hasbiiii...” Hilya tampak geram.
“Mbak juga nggak bisa menyalahkan beliau seutuhnya. Mbak menghargai usahanya.”
“Berarti akhwat itu?” Hilya semakin geram.
“Bukan juga. Kadang kita sendiri tak paham dengan hati kita. Dia yang menggenggam hati kita sepenuhnya.”
“Lantas?” ujarku.
“Niat mbaklah yang salah. Hati mbak kurang tulus dan ikhlas. Mbak melakukan itu karena mbak takut rumah tangga mbak hancur, mbak takut kehilangan Mas Hasbi, bukan karena Allah, bukan karena takut kalau yang mbak lakukan itu dosa dan pengkhianatan padaNya juga.”
Mbak Zidna menghapus air matanya yang meleleh sedari tadi.
“Sekarang mbak mencoba untuk meluruskan niat mbak? Dan Allah pun memahamkan dan membantu Mas Hasbi untuk lebih terjaga?” aku bertanya sekaligus mengambil kesimpulan dari penjelasan Mbak Zidna.
Mbak Zidna menggangguk, senyuman yang ia lontarkan kini lebih bermakna dalam bagiku. “Semoga aja ya dek. Aamiin ya Allah. Doakan semoga mbak bisa ikhlas.”
“Ikhlas itu... seperti apa sih?” tanya Hilya.
“Ikhlas itu seperti serpihan kelopak Dandelion yang ringan disapu angin. Terbang bebas tanpa beban dan rasa paksaan.” Jelasku.
“Semestinya seperti itulah amalan kita persembahkan hanya untukNya tak ada embel-embel keduniawian.”
Handphone Mbak Zidna kembali berbunyi. Kali ini sebuah telpon.
“Iya, kak?” sapanya lembut pada seseorang di sebrang sana, “adek lagi di lantai tiga masjid, segera turun sekarang.” tak lama mbak Zidna pun menutup handphonennya.
“Sudah ditunggu ya Mbak?” tanyaku.
“Iya dek. Mbak pamit dulu ya.”
“Iya Mbak sekalian, kami juga mau pulang ke kosan.” Ujar Hilya.
Kami pun beranjak dari tempat duduk dan bersama berjalan menuju pintu keluar.
“Mbak pamit dulu ya dek.” Mbak Zidna menyalami kami bergantian.
“Hati-hati ya Mbak.” Ujar kami, lagi-lagi kompak.
“Insya Allah.” Jawab Mbak Zidna. Ia segera duduk di jok belakang motornya setelah menggunakan helm yang tadi diberikan suaminya. Lelaki itu membuka kaca helm fullfacenya kemudian menoleh kearah kami mengangguk pamitan, tak lama yamaha vixion-nya melaju dan membelah jalanan.
Pandangkan kami menghantar hingga sepeda motor itu hilang dari pandangan kami.
“Ya Allah jagalah ia ketika penjagaanku tak sampai padanya, jagalah hati dan pandanganku juga hati dan pandangannya.” Desis Hilya. Aku tersentak dengan kata-katanya.
Aku mendelik, ku sikut lengannya sekali lagi “Ia? Siapa tuh?” tanyaku.
Hilya terkejut dengan pertanyaanku. “Entahlah... yang jelas ia jodoh yang Allah sediakan untukku kelak.” Jawabnya enteng seraya melengos meninggalkanku sendiri di depan masjid yang masih terheran dengan tingkahnya.





Comments

  1. Nice story...mengingatkanku pada bacaan2ku zaman SMA. Persis! :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh ya? masa? emang pernah ngalamin masa SMA ya?

      Delete
    2. kagak...dari TK langsung ke UPI. Emang pernah TK dulu? Nah itu baru pertanyaan yang tepat.

      Delete

Post a Comment