Bismillah...
Hikmah dari biografi Jean Paul Sartre yang tertuang dalam
novelnya “Les Mots” atau “Kata-kata” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Sartre adalah salah satu penulis Perancis yang mengenalkan aliran
ekstensialisme. Ekstensialisme adalah sebuah aliran yang mengutamakan
eksistensi dan kebebasan manusia. Ada satu hal yang menggelitik dalam
perjalanan hidupnya. Awalnya beliau adalah seorang yang mempunyai kesadaran
diperhatikan oleh Tuhannya.
Jean Paul kecil saat itu sedang bermain di rumahnya,
kemudian tanpa disengaja dia membakar karpet. Pada saat itu tak ada seorang pun
yang melihat perbuatannya, baik ibunya
maupun ayah tirinya. Akan tetapi dia merasa ketakutan karena dia merasa
ada mata Tuhan yang selalu mengintai dan memperhatikannya. Jean Paul berlari
kesana kemari, akan tetapi dia selalu merasa diawasi. Sekalipun ketika Jean
Paul berlari ke kamar mandi, “mata” itu terus melihat dan menghakimi
perbuatannya itu. Hingga Jean Paul merasa frustasi dan marah, dan mengatakan
dalam otobiografinya itu “Betapa kurang ajar sekali Tuhan itu, Dia terus
memperhatikan saya kemanapun saya pergi dan seenaknya menghakimi manusia atas
kesalahannya.” Kurang lebih seperti itulah yang dia katakan.
Sejak saat itu Jean Paul menolak keberadaan Tuhan karena
dia merasa kesal terus diperhatikan dan diawasi oleh Tuhan yang membuat
hidupnya merasa terkekang. Darisana munculah salah satu benih pemikiran beliau
bahwa kebebasan manusia itu tidak boleh dikekang dan manusia boleh melakukan
apapun yang dia dikehendaki. Hingga akhirnya hidup beliau memang tidak teratur
dan “tidak manusiawi”. (Untuk mengetahui kisah beliau secara detail bisa search di google).
Jika seandainya pada saat itu persepsi Jean Paul berbalik
180 derajat dan melihat hal itu dari sudut pandang yang berbeda/positif serta
menganggap pengawasan Tuhan itu sebagai “safety
belt”, sehingga perbuatannya bisa terkendali. Bisa jadi Jean Paul menjadi
orang baik yang hidupnya teratur sesuai dengan norma, terlepas dari agama yang
dianutnya.
“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat
memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang Dia kehendaki. dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk.” (QS. 28: 56)
Dari ayat diatas
kita tahu bahwa hidayah merupakan hak prerogatif Allah. Seseorang yang merasa
dilihat oleh Sang Khalik pun ketika hidayah belum sampai padanya, maka dia
tetap dalam kesesatannya. Berbicara tentang hidayah, ada juga hidayah yang
tidak datang dengan gratis, dalam artian kita diharuskan berikhtiar untuk
mendapatkannya. salah satunya dengan cara membuka persepsi kita atau dengan
kata lain kedatangan hidayah bisa terbelenggu oleh persepsi yang diyakini namun
tidak sesuai dengan syariatNya, seperti kisah diatas. Meski tak seekstrem
diatas, tapi hal itu bisa saja terjadi juga pada kita secara halus.
Pernahkah kita
merasa bahwa kita lebih sering terjebak dalam persepsi kita? Kita lebih sering
mengkritisi syariat yang telah mutlak “kebenarannya” dalam Al Qur’an dan Hadits
dibandingkan dengan mengkritisi persepsi atau sudut pandang kita serta terjebak
untuk membenarkannya. Itu pula yang terjadi pada Jean Paul Sartre, terjebak dalam
persepsi yang dia benarkan, bahwa manusia itu mempunyai hak untuk melakukan
apapun yang disuka tanpa ada yang boleh mengekangnya.
Mungkin kita telah
akrab dengan kalimat berikut,
“Yang penting kan
tidak berlebihan.”
“Yang penting hijab
hati.”
“Yang penting kan
niatnya...”
“Ini pandangan
saya, terserah orang mau berpandangan bagaimana...”
“Gimana dong?
Mereka kan belum paham?”
Dan lain, dan
sebagainya, dan seterusnya.
Mungkin tak ada
yang salah dengan kalimat-kalimat diatas, akan tetapi hal itu juga bisa berubah
keadaannya tergantung dengan konteksnya yang bisa berujung pada toleransi yang
berlebihan dan keluar dari batasannya.
Baik disadari atau
tidak munculnya pembelaan-pembelaan dalam benak yang merupakan bentuk hujjah
dari persepsi dan merasa bahwa syariat terlalu kuat mengekang, hanyalah sebuah
keegoisan dalam diri yang enggan patuh seutuhnya. Sedangkan Islam mesti
keseluruhan. Iman adalah tunduk dan patuh padaNya.
“Wahai orang-orang muslim yang beriman! masuklah ke dalam
Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah Syetan. Sungguh ia
musuh yang nyata bagimu.” (Qs. 2: 208)
Keegoisan itu
merupakan cabang dari lupanya atau belum memahami tentang hakikat Allah sebagai
Sang Khalik dan kita sebagai makhlukNya. Hakikat seorang hamba dan Rabbnya
adalah seperti tukang kayu yang ingin membuat sebuah kursi. Apabila kursi yang
telah jadi itu bergoyang atau reot, tukang kayu akan memperbaikinya, di paku
lagi, di palu lagi. Apabila sudah diperbaiki masih tetap reot maka jalan
terakhir adalah membuangnya karena sudah tak berguna lagi.
Begitu pun dengan
Allah yang menciptakan manusia, jika dia tersesat Allah akan menunjukkan
jalannya melalui ujian-ujian. Jika setelah diuji dia masih sama, maka Allah
akan membuangnya. Ingatkah kawan tentang kaum terdahulu yang Allah musnahkan
karena kedurhakaan mereka padaNya? Allah tidak serta merta mengazab mereka.
Sebelumnya Allah kirimkan nabiNya untuk mengingatkan mereka, dan menguji mereka
agar mereka kembali padaNya.
Pemahaman tentang
hakikat penghambaan padaNya, tentulah berawal dari akidah yang lurus. Akidah
yang tertanam dalam kalbu. Kalbu ibarat tanah, dan keimanan ibarat akar yang
menghujam di dalamnya, dan nasehat agama adalah cacing-cacing yang
menggemburkan hati agar pohon dapat tumbuh subur. Sedangkan hati yang kering
akan sulit menerima kebenaran. Jika hati terlanjur kering, maka mintalah pada
Allah untuk memberikan hati yang baru.
Seorang teman
mengatakan bahwa yang memberatkan itu bukan syariat tapi keegoisan yang
berbalut nafsu yang sulit ditaklukan. Masih ingatkah tentang kisah Abu Jahl
yang menolak keras kedatangan Islam dan enggan mengucapkan dua kalimat
syahadat? Itu karena dia tahu benar makna yang terkandung didalamnya. Dengan
mengucapkan dua kalimat itu, dia tahu bahwa dia harus melepaskan kekuasaannya,
hartanya dan semua yang bersifat keduniaan serta harus patuh dan tunduk pada
Allah. Kesombongan dan ketakutan akan kehilangan semua perangkat dunia itulah
yang membuat dia akhirnya bersikeras memerangi Islam yang dibawa Rasulullah
SAW.
Hidup memang sudah
sulit dan tak perlu dipersulit lagi. Tapi Islam tidak pernah menyulitkan, Islam
juga tidak mengajarkan untuk hidup bebas seenaknya jika ingin selamat. Bukan
merupakan suatu kesalahan juga jika kita berpersepsi dan mempunyai prinsip,
tentunya terlebih dahulu kita perbaiki hubungan kita denganNya, menyadari
kedudukan kita sebagai hambaNya.
Allahu ‘alam bi shawab.
Comments
Post a Comment