Sesekali tawa
renyahnya menghangatkan rumah, memelukku, dan mencium pipiku. Di lain
waktu wajahnya terlihat muram, pandangannya kosong menatapku dengan
sinis, tak jarang air matanya meleleh sambil memakiku. Tak mau menjawab
pertanyaanku apalagi menyapaku.
Aku tak mengerti
dengan perubahan yang terjadi pada adikku, Hafsa. Empat bulan setelah
tinggal kembali di rumah, dia berubah. Enam tahun yang lalu sebelum aku
memutuskan untuk menuntut ilmu di Pondok Pesantren putri di Jawa timur,
adikku tidak seperti ini, keceriaannya tak pernah pudar meskipun ia
disakiti kawannya. Ada apa gerangan dengan adikku yang manis ini? Abi
dan ummi justru bersikap seolah tidak terjadi apapun padannya. Padahal
aku sungguh merasakan perubahan total itu.
“Hafsa baik-baik
saja, dia masih putri kecilku yang ceria.” Hanya itu respon Abi. Aku pun
tak mengerti dengan abi dan ummi, tidakkah mereka menyadarinya.
Aku mencoba
menanyakan langsung padanya, yang terjadi emosinya semakin meluap,
sampai-sampai ia berani membentakku. Hal yang tak pernah dia lakukan sebelumnya.
Malam ini aku
melihatnya meringkuk diatas tempat tidurnya dengan boneka kecil
pemberian mas Lutfi yang berada dalam pelukannya. Air matanya kembali
menetes, padahal setengah jam yang lalu dia masih bercanda denganku
samblil mengerjakan tugas organisasi yang harus kami kumpulkan pada
ketua kami besok pagi –aku dan dia memang satu organisasi di ikatan
remaja mesjid di komplek kami yang akan membuat sebuah acara− hingga
datang ummi membawakan kami dua gelas susu coklat. Hafsa menyerahkan
tugasnya yang harus dikumpulkan melalui aku. Aku memandang desain
pamflet itu. Indah namun hanya kurang beberapa bagian yang dapat menarik
pengunjung.
“Bagus dek, boleh Mbak tambahin dikit?” pintaku. Hafsa mengangguk sambil mengulum senyumnya yang manis.
Aku segera mengedit
beberapa bagian-bagiannya dengan hiasan-hiasan yang sekiranya dapat
menarik pengunjung acara nantinya, Insyaallah.
“Subhanallah… pamfletnya jadi bagus. kamu memang kreatif nak. Desainmu ini bisa menarik pengunjung lho…” seru ummi.
“Ah… biasa aja mi. Aku cuma menambahkan sedikit aja ummi. Selebihnya kan hasil kreatifitas adek.” Ujarku.
“Kamu pintar bikin desain nak. Belajar dimana?” Tanya ummi lagi.
“Di pondok ummi.
Pembelajaran teknologi informatikanya memang lebih ditekankan untuk
menguasai komputer dan internet. Selain itu diharapkan semua santri
tidak hanya menguasai Microsoft office tapi juga photoshop, corel dan
program desain lainnya.”
“Wah… pantesan hasil desainmu bagus. Hunafa.” Puji ummi.
“Ah ummi… biasa aja kok.”
Hafsa segera beranjak
dari tempat duduknya, lalu pergi keluar kamarku dan membanting
pintunya. Ummi dan aku terkejut dengan sikapnya. Aku baru menyadari
begitu banyak hasil kerjanya yang telah aku ubah, mungkin hampir
semuanya aku ubah.
Aku segera beranjak
dari tempat dudukku dan mengejar ke kamarnya. Tangisnya tersedu-sedu
seraya berkali-kali dia memanggil nama mas Lutfi. Aku segera
menghampirinya.
“Dek, maafkan mbak ya!” ujarku. Dia masih menangis dan tak mau menjawab permohonan maafku.
“Mbak, tadinya hanya akan merubah sedikit. Tapi…”
“Ya tak masalah. Toh, apa yang mbak buat lebih bagus dan lebih menarik.” Ucapnya ketus.
“Lho kok gitu sih?”
“Gitu gimana? Emang bener kan? Udahlah mbak nggak usah merasa nggak enak gitu sama aku.” Suaranya semakin ketus.
“Terus mbak harus gimana dong?”tanyaku. Hafsa tak menjawab. Dipeluknya boneka itu dengan erat.
“Maafin mbak ya, ini memang salah mbak.” Aku mengelus kepalanya selembut mungkin.
“Mbak takut malam ini mbak tidak akan bangun lagi.” Bisikku. “Mau ya!”
pintaku. Hafsa mengangguk, usianya yang hanya berbeda setahun dariku
justru malah terlihat lima tahun lebih muda.
Aku mengelus kepalanya lagi. “Ya sudah, sekarang adek tidur ya!”
Hafsa kembali
mengangguk, isak tangis menjadi pengantar tidurnya. Belaianku
mengantakanrnya ke alam mimpinya. Aku mengecup kepalanya, lalu pipinya.
Di lain hari aku
melihatnya berdiri di depan jendela kamarnya, matanya terpaku pada
matahari tenggelam. Jiwanya seolah tenggelam dalam dunia lain, entah apa
itu namanya. Hingga dia tak menyadari kedatanganku, bahkan dia tak
sadar handphonenya berbunyi.
Aku segera mengambil handphonenya dan kubaca sms yang baru saja masuk.
Assalamualaikum. Dek, kapan anti bisa menyerahkan RABnya. Kakak tunggu di depan Masjid. Oya jangan sedih lagi ya…
Fathir
Aku terkejut membaca sms itu. Ada hubungan apa antara adikku dengan sang ketua?
Aku menjadi penasaran. Kata-kata terakhir kak Fathir itu tidak pantas
diucapkan ikhwan ke akhwat yang bukan muhrimnya. Apa mereka terserang
virus merah jambu? Apa mereka pacaran? Ah… rasanya itu tidak mungkin. Mereka berdua sama-sama tahu syariat. Mana mungkin mereka melakukan hal itu. Tapi sms. Ah… semuanya membingungkanku.
“Dek…” panggilku. Adikku terkejut dan kembali ke dunia nyatanya.
“Ada apa mbak?”tanyanya. Bibirnya langsung dihiasi senyuman riang yang selalu kurindukan.
“Boleh mbak tahu, ada hubungan apa adek dengan kak Fathir?”
Hafsa tampak terkejut. “Ketua dan anak buahnya. Sama kayak mbak.”
“Yakin?”
Hafsa mengangguk.
Aku menyerahkan sms itu padanya. Hafsa pun membacanya.
“Mbak harap tak ada sindrom VMJ diantara kalian seperti yang dialami aktivis lainnya.” Ucapku dengan hati-hati, khawatir melukai hatinya.
“Apa salah sesama saudara muslim saling menghibur? Dan curhat?”
“Tapi kamu masih punya mbak! Mbak sayang kamu, dek.”
“Oh ya? Apa mbak tahu kesedihanku?” ujarnya dengan mata mulai berkaca-kaca.
“Bagaimana mbak tahu kalo adek nggak mau cerita.”
“Kenapa harus tanya,
harusnya mbak pikir dan rasakan sendiri, kalo mbak sayang aku. Kenapa
kak Fathir yang harus bisa merasakannya, bukan mbak sendiri, sebenarnya
siapa kakak aku?” untuk kesekian kalinya Hafsa berteriak di depanku. Hafsa pergi dari hadapanku dengan emosi dan air mata yang meleleh.
Aku terdiam terpaku
ditempatku. Kupejamkan mata menelan kepahitan. Apa kesedihanmu dek?
Kenapa aku tak bisa peka? Seberapa kesedihan yang kau tanggung hingga
membuatmu berubah? Kesedihan macam apa itu? Kenapa aku tak mampu
merasakannya? Kenapa mesti Fathir? Kenapa ikhwan itu yang lebih peka?
Aku masih duduk
bersimpuh di sajadahku malam itu. Pikiranku masih berpikir tentang
kejadian tadi sore. Aku hanya berharap tak ada apa-apa antara Hafsa dan
Fathir.
“Mbak…” adikku datang
dengan senyuman riang menghiasi wajahnya. “Ini..” katanya seraya
menyodorkan satu piring brownies kukus dihadapanku. “Untuk mbak, aku
sendiri lho yang bikin.” Ucapnya. Aku terharu melihatnya, butiran bening
menghalangi pandanganku. Aku segera menyeka air mataku. Hafsa mengambil
potongan kue dari piring yang dipegangnya dan memberiku satu suapan.
Aku tak menunggu lama untuk segera melahapnya.
“Makasih ya dek, kuenya enak…” ujarku. Hafsa segera memelukku yang masih berada dalam balutan mukenaku.
“Hafsa… abi mau bicara.” Tiba-tiba abi telah berdiri di depan pintu kamarku. Hafsa segera menghampiri abi dan mengikutinya.
“Hafsa, kapan abi mengajarkan kamu untuk pacaran?” terdengar suara abi sayup-sayup dari ruang keluarga.
“Hafsa nggak pacaran, bi.” Bela Hafsa.
Aku segera beranjak dari tempat dudukku, melepas mukenaku dengan tergesa-gesa. Aku menghambur pintu kamarku. Disini aku dapat melihat Hafsa tengah menunduk lesu.
“Sejak kapan abi mengajarkan kamu bohong?”
Hafsa dapat melihat keberadaanku yang tengah menguping pembicaraannya dengan abi.
“Hafsa tidak bohong, bi.”
“Lalu sms dari Fathir itu apa maksudnya?”
Hafsa menoleh kearahku, matanya menyorotkan amarah padaku. Sungguh Hafsa aku tak pernah mengatakan apapun pada abi, batinku.
“Beliau hanya menghiburku.”
“Apa itu maksudnya? Jaga izzahmu sebagai akhwat. Ada batasan interaksi antara ikhwan dan akhwat. Bersikaplah seperti Mbakmu!”
“Hafsa tidak tahu
bagaimana batasannya. Abi hanya melarang tanpa mengajarkannya. Hafsa tak
pernah pesantren seperti mbak Hunafa dan mas Lutfi. Jadi Hafsa tak
pernah tahu.” Ucap Hafsa tenang, tapi aku bisa merasakan sakit menghujam
dihatinya yang terlukis dalam nada bicaranya. Hafsa pergi ke kamarnya
dengan tangisnya kembali.
Untuk beberapa saat
aku dan abi hanya bisa terdiam terpaku di tempat kami masing-masing.
Lalu aku memutuskan pergi ke kamarnya. Langkahku terhenti di depan
kamarnya saat kutahu dia tengah menelepon seseorang.
“Abi memarahiku dan menuduhku berpacaran dengan kak Fathir.”ujarnya.
“Padahal aku dan kak
Fathir tidak ada apa-apa. Kak Fathir memang suka menghiburku dan aku
senang, karena selain mas Lutfi, kak Fathirlah yang mengerti aku.”
Rintihnya pada seseorang disebrang telepon yang aku yakini itu mas
Lutfi.
“Mas, kenapa Abi tak pernah adil padaku? Ummi pun tak sayang lagi padaku.”
“Mas, itu nggak tahu
kejadiannya, coba mas pulang dan lihat sendiri. Aku merasa semua orang
tak pernah adil padaku. Tak pernah ada yang menghargai karyaku, aku
memang bodoh.” Ujarnya lagi tangisnya semakin menjadi-jadi.
“Ya… sedikit-sedikit
mbak Hunafa. Kemarin abi memujinya dan mendoakan ia mendapat suami yang
sholeh, cerdas, dan hafidz. Katanya mbak Hunafa memang pantas
mendapatkan seperti itu, dan nggak akan rela mendapatkan jodoh yang
biasa saja karena ilmunya mbak Hunafa itu sudah dalam dan mbak Hunafa
calon hafidzah qur’an.”
Aku teringat kejadian
itu, saat itu kami sedang berkumpul diruang keluarga untuk berdiskusi
agama dan setoran hafalan qur’an pada abi.
“Mas, kenapa cuma
mbak Hunafa yang didoakan? Apa aku nggak layak dapat suami sholeh dan
hafidz? Aku tahu, ilmu agamaku cuma segitunya, juz 30 saja aku belum
hafal.”
“Ya… mbak Hunafa memang yang terbaik.”
Kata-kata Hafsa telah
menyayat hatiku. Jadi itulah kesedihannya? Itukah yang membuat dia
berubah. Itulah yang telah membuat dia terluka? Aku sendiri ternyata
penyebabnya? Dia merasa akulah yang terbaik dan kebanggaan abi dan ummi.
Aku segera meraih
handphoneku dan kutelepon mas Lutfi setelah aku yakin kalau Hafsa telah
mengakhiri pembicaraannya dengan mas Lutfi di telepon tadi.
“Assalamualaikum.” Ku dengar sapaan dari seberang telepon.
“Mas… tadi aku dengar pembicaraan mas dengan Hafsa. Ternyata aku penyebab kesedihannya? Pantas sedemikian marahnya dia padaku.”
“Ada banyak yang belum kamu ketahui de.”
“Mas… boleh aku tahu semuanya?”
“Sejak kau pergi dan tinggal di pesantren, Hafsa
merasa sendirian, dia meminta abi untuk memasukkannya ke pesantren yang
sama denganmu. Tapi ummi melarang dengan alasan ummi tak rela
anak-anaknya semua pergi. Ummi tak mau kesepian. Padahal Hafsa begitu
semangat belajar Islam.” Jelas Mas Lutfi. Aku mendengarkan baik-baik
semua penjelasannya.
“Lantas setelah itu apa yang Hafsa lakukan, Mas?” tanyaku.
“Mas salut
dengan perjuangannya mempelajari Islam. Dia mulai terlibat menjadi
anggota dakwah sekolah, aktif di remaja Masjid. Terakhir sekarang Mas
dengar darinya kalau dia sekarang aktif di lembaga dakwah kampus.
“Sungguh dia anak yang menakjubkan dek. Mas
bangga padanya. Terkadang Mas malu padanya. Disaat dia ingin menuntut
ilmu agama di pesantren, Mas Lutfi justru sering lalai dan malas-malasan
disini.” Ujar Mas Lutfi mengungkapkan kekagumannya pada adik bungsu
kami.
“Hoalah mas…
kalau mas Lutfi bilang masih malas, bagaimana dengan saya dong? Mas
masih ingat? dulu saya sering dipanggil kepala sekolah gara-gara adikmu
ini sering bolos dan kabur dari pesantren.” Aku jadi teringat masa-masa
aku nakal dulu. Malu rasanya jika mengingatnya lagi apalagi
membandingkannya dengan dek Hafsa disini. Kudengar mas Lutfi menarik
nafas dalam-dalam.
“Kau harus tahu
dek, bagaimana dia mendapat ejekan, penghinaan dan penolakkan dari
teman-temannya saat memutuskan untuk berjilbab. Saat godaan pergaulan
mengombang-ambing keteguhan hatinya. Dek, Mas mohon jangan pernah
tinggalkan dia sendiri lagi. Terlalu sering dia menderita, dia sungguh
membutuhkan tempat mengadu atas beban dakwah yang dia pikul selama ini.
Allah memang tempat pengaduannya. Tapi dia manusia biasa, makhluk sosial
yang juga membutuhkan manusia lain untuk berbagi.” Jelas Mas Lutfi
panjang lebar.
Aku tercenung
mendengar penjelasan mas Lutfi. Rasa haru, bangga dan sedih bercampur
aduk dalam hatiku. Adikku yang malang, adikku engkaulah yang terbaik.
Rasa sakit menyelimuti hatiku, hatiku meringis, menangis. Mengapa selama
ini aku menyia-nyiakan nikmatNya.
Sungguh aku
malu pada adikku. Perjuangannya untuk mempelajari Islam dan menegakkan
kalimatullah sungguh menakjubkan. Pesantren bukan satu-satunya tempat
untuk memperbaiki diri. Lantas bagaimana dengan aku? Latar belakangku
sebagai santri, tapi belum ada sedikitpun yang aku lakukan untuk
menegakkan kalimatMu ya Rabb. Aku malu. Ilmu yang aku miliki belum mampu
aku amalkan. Namun Hafsa? Sedikit ilmu yang dia miliki, namun dia
langsung mengamalkannya. Bukankah sebaik-baiknya ilmu itu yang paling
bermanfaat? Adikku yang manis, sesungguhnya engkaulah yang terbaik
diantara kami. Tak terasa aku meneteskan airmataku. Ku lihat adikku
masih menangis ditempat tidurnya dengan boneka kecil dalam pelukannya.
Aku meninggalkannya dan menutup pintu kamarnya.
Comments
Post a Comment