Dalam curahan air hujan aku melangkahkan
kakiku perlahan, tak sedikitpun ingin mempercepat langkahku ataupun
berniat berteduh di emper toko. Meski hujan itu tak bisa dikatakan
gerimis lagi. Deras!
Ku biarkan tubuhku basah kuyup dalam balutan
jaket tebal yang memang telah aku pakai sebelum hujan turun membanjiri
bumi. Hujan, biarlah engkau membasuh diriku, membasuh luka yang
tersimpan dalam hati ini. Biarkan ia larut bersamamu, pergi dalam aliran
air deras yang terus mengalir. Tak ada seorang pun yang dapat membedakan mana hujan yang tumpah dari mataku dan hujan yang tumpah dari langit.
Hujan, dulu aku sangat menyukai kehadiranmu
tapi sejak saat itu kehadiranmu bagaikan belati yang menyayat hatiku dan
menggoreskan luka yang semakin mendalam. Karena... karena kau selalu mengingatkan
aku pada pesannya, larangannya, perhatiannya yang kini harus ku usir dan ia pergi entah kemana. Entah ia hanya berlari ke arah yang tak menentu atau menemukan rumah lain untuk bersinggah.
“Dek, lain kali kau tak perlu hujan-hujanan lagi. Basah kuyup seperti itu, gimana kalau kamu sakit?”
Ah… kau! dengan bunyi jutaan tetes airmu
selalu merapalkan ingataan di memori otakku pada celotehan lelaki itu. Tentang dia yang selalu
khawatir melihat atau mendengarku kehujanan. Celotehan yang menusuk bagaikan
ribuan jarum membilukan hatiku.
“Ah… biarkan saja, hujan tidak pernah membuat
orang sakit. Mereka sakit karena imunitasnya yang sedang menurun.”
Ujarku keras kepala.
“Ah… bukan cuma sakit. Tapi bajumu bisa apek, baju yang basah bisa menempel dikulit dan membekas bentuk tubuhmu” omelnya lagi.
Celotehanku dan celotehan lelaki itu saling bersahutan dalam pikiranku, bising menyaingi suara riang tetesan air yang kini tengah menghantam tanah, kaca, pohon dan lainnya.
Selesai, tak ada lagi perseteruan yang
memaksaku harus patuh pada lelaki itu. Perseteruan itu hanya bersarang
di benakku dan akan semakin riuh saat hujan datang.
Sejak saat itu takkan ada lagi percakapan
apapun antara aku dan lelaki itu. Blacklist! Kata itu terpaksa aku terapkan
padanya. Bukan karena aku membencinya. Tidak! tidak pernah ada kata benci, seperti aku tak pernah membenci hujan, meskipun jalanan
dibuat becek, meskipun petir bersahutan melemahkan nyaliku. Aku tak pernah
membencimu, kau dan lelaki itu. Bukankah aku selalu merindukan kehadiranmu saat kemarau menyengat sepanjang ia mengambil alih posisimu.
Sama halnya perasaanku pada lelaki itu.
Karena aku mencintainya, kata kerja yang belum pantas aku lakukan padanya, kata kerja yang tak semestinya ada untuknya. Belum ada hakku bertaut kata cinta padanya. Terkadang aku tak
mengerti dengan kata itu. Benarkah dia sama menentramkannya sepertimu?
Seperti bunyi tetesan airmu yang menghayutkan jiwaku dalam kedamaian.
Benar sekali… belum saatnya aku jatuh cinta, sedang aku masih harus meniti amanah yang terhampar di depanku. Perbendaharaan amanah lelaki itu pun lebih banyak dari diriku, meminta untuk segera diselesaikan. Begitulah, jangan pernah mentoleransi diriku dengan membiarkan cinta merasuki ke relung hati, sebelum terucapnya janji yang mengguncang Arsy dari
mulut lelaki itu atas namaku. Atau sederhananya, hijablah hati ini jika mungkin hingga ke langit. Jangan biarkan Allah mencemburuimu karena perbuatanmu.
“Adek, nggak inginkan mengganggu ibadahnya
beliau hanya karena beliau memikirkan adek. Dan adek juga nggak ingin
memikirkannya juga? Adek nggak inginkan menjadi fitnah baginya? Iya
kan?” tatap kakak perempuanku menggebu. Pada pancaran matanya jelas terlihat ketegasan yang tak bisa aku ingkari.
“Tapi mbak… benarkah adek harus memutuskan interaksi dengannya? Adek nggak bisa mbak.” Ratapku.
“Adek bisa. Karena Adek lebih mencintai Allah daripada lelaki itu.” Kata-kata terakhir kata-kata kakakku mengunci pembelaanku. Speechless.
Aku tidak bisa membuat pembelaan lagi kecuali mengikuti sarannya.
Dengan berat hati aku menghapus semua sms sekaligus no. handphone lelaki
itu. Meremove akunnya sebagai teman di Facebook. Ya, lupakan dia. Usir bayangnya, hapus jejaknya.
Ya Rabb… kuakui berat semua itu kujalani. Rupanya cintaku padaMu belum mampu menguatkan aku. Meskipun
cintaMu padaku tak pernah aku ragukan. Ah… jika saja hati ini telah
dipenuhi oleh cinta padaMu, tentulah aku tak membutuhkan cinta lain.
Tentulah aku mampu mencintai lelaki itu karena cintaku padaMu, dan
tentulah aku takkan sebegitu terlukanya saat aku harus melupakannya
sementara. Seperti sang air yang rela menguap menjadi awan dan kembali
mencair menjadi tetesan hujan, semata karena mereka cinta dan patuh pada
titahMu.
Aku masih melangkah gontai dalam derasnya
hujan yang semakin menjadi-jadi. “Aku tak peduli dengan nasehatmu kali
ini. Karena aku ingin hujan membawa lukaku pergi dalam basuhannya.”
bisik hatiku.
Tak terasa pintu rumah telah dihadapanku. Aku
segera masuk dan membuka jaketku yang basah kuyup. Sepi, tak ada
cirri-ciri kehidupan. Aman, pikirku.
“Adek…!!” tak kuduga suara kakakku langsung
menyambut kedatanganku. Jantungku nyaris melompat dari tempatnya. Ku perhatikan dia
sekilas. Sudah rapi dengan gamis cokelat dan kerudung kremnya juga
payung ditangan kirinya.
“Hujan-hujanan lagi?” tanyanya penuh kekhawatiran.
“Kehujanan mbak…” jawabku dingin, sedingin tubuhku yang mulai menggigil.
“Cepat ganti bajumu.” Sarannya. Aku melemparkan seulas senyuman padanya tanda setuju untuk mengikuti anjurannya.
“Mbak pergi ngajar dulu ya…” ujarnya lagi
sambil membuka pintu. Lantas dia telah hilang dibalik pintu sebelum aku
menjawab apapun.
Aku masih berdiri memaku di balik jendela,
kulihat kakakku berjalan menyusuri halaman rumah
dengan payung merah jambu menutupinya dari curahan hujan.
Hujan mulai mereda. Tapi kenapa luka ini
belum juga mereda, masihkah bersemayam d irelung ini? Belumkah air hujan
itu membasuh lukaku dan menghayutkannya??
Comments
Post a Comment