Di Negeri Antah Berantah, rakyatnya yang
berjenis kelamin berbeda hidup terpisah oleh aliran sungai dimana
daratan putra tinggal di sebelah kiri aliran sungai sedangkan daratan
putri tinggal di daratan sebelah kanan. Keduanya tak bisa bersama,
apabila ingin bersama maka mereka harus mempunyai kapal berSNI atau
berlabel halal “MUI” (lho????). Sudah merupakan suatu ketentuan bahwa
rakyat negeri itu baik putra maupun putri tidak boleh mendekati aliran
sungai itu. Sebagian orang sangat patuh, sebagian lagi meski mereka
hati-hati tapi tidak terlalu mentakuti larangan itu. Sungai itu bukanlah
sungai berpenyakit. Airnya sejuk, melegakan jika diminum, dapat
menyebabkan ketagihan, dan terdapat taman bunga cantik disepanjang
tepian sungai, tapi beberapa mil dari tempat itu terdapat aliran yang
sangat deras, hingga siapapun yang melewatinya tanpa kapal yang kuat
akan binasa, tetapi mereka yang melewatinya dengan kapal akan nyaman dan
selamat diperjalanan. Itulah alasan kenapa adanya larangan tersebut
dari raja. Apabila rakyatnya putra dan putri telah siap dengan kapalnya
mereka dapat berlayar disungai itu dan meninggalkan negeri antah
berantah.Bagi rakyat putra dan putri yang bersaudara ingin
berkomunikasi, raja menyediakan sebuah jembatan komunikasi dengan
prosedur yang telah ditetapkan.
Di daratan putri
hiduplah seorang gadis bernama Raina. Dia adalah gadis pemurung,
hidupnya penuh dengan air mata, dia selalu merasa kesepian, terluka dan
bersedih. Suatu hari dia merasa kesal pada sikap teman-temannya yang
mengabaikannya. Dia berjalan meninggalkan rumahnya tanpa tujuan yang
pasti. Tanpa disadari langkahnya membawa dia ke daerah yang mendekati
taman bunga tepian sungai. Tampak dari kejauhan di sebrang sungai sana.
Dia melihat seorang pemuda yang tengah bercengkrama dengan
teman-temannya. Pemuda itu sangat ramah dan baik. Teman-temannya pun
tampak mencintai pemuda itu. Raina tampak takjub dengan pemuda itu. Dia
begitu iri dan ingin sekali dicintai oleh teman-temannya seperti pemuda
itu. Rupanya pemuda dari daratan putra itu menyadari tatapan Raina
disebrang sungai, pemuda itu balas menatapnya, sebuah senyum
persahabatanpun terlontar dari bibir pemuda itu. Raina ketakutan, dia
berlari meninggalkan tempat itu menuju rumahnya. Dalam hati dia berjanji
untuk tidak lagi kembali ke tempat itu.
Esok harinya, Raina
pergi jalan-jalan seperti biasanya. Raina mengingkari janjinya. Tanpa
disadari lagi langkahnya pun mendekati daerah taman bunga ditepian
sungai. Ditempat yang sama dia bertemu kembali dengan sosok pemuda itu.
Kali ini pemuda itu tampak sendirian, tapi dia terlihat sangat nyaman
dan bahagia dengan kesendiriannya. Raina berjalan mendekati batasan
taman bunga. Dia memberanikan diri untuk menyapa pemuda itu.
“Hai…” Sapa Raina dengan suara tercekat.
“Hai.” Pemuda itu tersenyum ramah pada Raina. “Aku Aysel. Boleh aku tahu siapa namamu?”
“Aku Raina.” ujar Raina seraya membalas senyuman Aysel. “Aku iri padamu Aysel.” Raina mulai mengakrabkan diri dengan pemuda itu.
“Iri ? kenapa kau merasa iri padaku ?”
“Kau mempunyai banyak teman, dan kupikir mereka semua sangat mencintaimu.”
“Benarkah ? Apa kau berpikir demikian ?”
“Iya… apa yang kau lakukan sampai mereka bisa mencintaimu?”
“Hm… tidak ada. Aku hanya melakukan apa yang bisa aku lakukan untuk mereka. Membantu mereka bila mereka membutuhkanku.”
“Apa kau mengorbankan dirimu untuk kepentingan mereka juga, Aysel?”
“Ya… kadang-kadang.”
“Apa kau bahagia dengan semua itu?”
“Entahlah… aku
terkadang seperti lilin yang membakar diriku sendiri. Terkadang aku juga
lebih suka dan nyaman sendirian seperti ini.”
Raina tertawa kecil.
“Aku sebaliknya Aysel, aku bosan dengan kesendirian, aku butuh
teman-teman yang mencintaiku seperti teman-temanmu.”
Aysel terkekeh.
Akhirnya keduanya
sering bertemu ditempat tersebut dan semakin akrab. Tanpa disadari
keduanya semakin mendekat dan memasuki taman bunga tepian sungai. Hingga
mereka lupa bahwa mereka telah berada ditepi sungai.
“Hai Aysel, kau tahu
air ini sangat sejuk.”Raina memainkan jemari tangannya di aliran sungai.
Raina terlupa bahwa dia telah melanggar larangan Raja. “Dan bila kuminum air ini sungguh sangat melegakan tenggorakanku.”
Raina menoleh ke arah
Aysel, diseberangsana rupanaya Aysel pun melakukan hal yang sama.
“Aysel, kau melakukan apa yang kulakukan? Sejak kapan kau melakukan
itu?”
“Entahlah Raina, aku tidak tahu. Aku hanya mengikuti hasratku setelah aku merasakan kesejukan air ini.” Jawab Aysel.
“Aysel, tapi kita
telah melakukan kesalahan. Ini kesalahan Aysel, kita tidak boleh
menyentuh air ini lagi.” Raina menyadari kesalahannya.
“Benar Raina…
sebagian orang lain ada yang begitu taatnya dengan larangan ini dan
mereka tak mau tahu tentang orang yang pernah merasakan menyentuh air
ini.”
Hari berganti hari,
Raina dan Aysel sangat menyukai air sungai itu. Hingga akhirnya keduanya
menurunkan kaki mereka bermain disungai itu, berenang, bahkan Aysel
membuatkan sebuah rakit untuk keduanya. Rakit yang mereka buat tumpangi untuk menyusuri aliran sungai itu.
Aliran sungai menghanyutkan rakit mereka, mereka tampak bahagia
bermain-main disungai itu dengan rakitnya. Hingga suatu hari seorang
gadis dari daratan putri melihat keduanya tengah bermain di aliran
sungai itu dengan rakitnya, tanpa menyadari bahwa mereka hampir saja
sampai pada aliran deras yang bisa menghanyutkan keduanya. Gadis itu berusaha mengingatkan mereka dengan melemparkan
sepotong balok pada rakit itu. Aysel dan Raina terpelanting dari
rakitnya, keduanya tercebur kedalam sungai, tanpa mereka ketahui bahwa
sekarang mereka telah memasuki aliran sungai yang deras. Aysel dan Raina
terbawa hanyut aliran itu, namun belum begitu lama tubuh Aysel
menghantam batu besar, dengan sisa tenaganya, dan sepotong ranting
ditepi sungai, Aysel berhasil menarik tubuhnya ke tepi sungai. Sedangkan
tubuh Raina hanyut dan beberapa kali terbentur bebatuan. Aysel sangat
sedih, dia ingin sekali menyelamatkan Raina tapi tubuh Raina sudah
terlalu jauh untuk dijangkaunya. Hingga beberapa meter dari tempat Aysel
selamat. Tubuh Raina terdampar dalam batu besar. Raina yang terluka
parah berusaha merangkak, tertatih dan terhuyung menuju tepian sungai.
Dia melambaikan tangannya meminta pertolongan kawannya. Beberapa
temannya datang untuk menolongnya, membawanya pulang dan mengobati
lukanya.
Hari terus bergulir,
luka ditubuh Raina belum sepenuhnya sembuh, tapi teman-temannya dengan
sabar membantu mengobati lukanya terutama gadis yang melempar balok kayu
pada rakit Raina. Indira, sahabat terdekat Raina juga dengan setia
membantu mengobati luka-luka Raina, dia sering mengajak Raina
jalan-jalan ke tempat lain yang bisa membuat Raina lupa pada tepian
sungai. Sedangkan Irasita yang ternyata saudari dari Aysel, selalu
menghiburnya dengan mengatakan “Siapapun yang menemani saudaraku di
aliran sungai itu kelak, aku ingin mereka menggunakan kapal yang kuat
sesuai anjuran Raja.” Irasita selalu menghiburnya, membuatnya tertawa,
hingga kondisi Raina cepat pulih kembali.
Hari terus berlanjut.
Tak dapat ditutupi bahwa Raina merindukan gelak tawa, tangis, marah dan
segala emosi yang dulu diungkapkan bersama Aysel. Tanpa diketahui
siapapun, Raina melangkah ke arah tepian sungai, dilihatnya rakit yang
mereka buat itu masih utuh tergeletak ditepi sungai. Di sebrang sungai,
rupanya Ayselpun berdiri menatap Raina. Kerinduan diantara keduanya
bagai magnet yang saling tarik menarik. Mereka hampir mendekat batasan
taman bunga tepian sungai. Setelah melepas rindu dalam jarak jauh
keduanya kembali pulang ke rumah mereka.
“Apa kau tadi pergi ke tepi sungai lagi, Raina ?”Tanya Indira.
“Mana mungkin aku
melakukannya, aku hanya berjalan disepanjang batasan taman bunga tepian
sungai.” jawab Raina jujur tapi seutuhnya tidak benar karena dia telah
melangkah melewati batasan taman bunga tepian sungai.”
Keesokan harinya
Raina dan Aysel bertemu ditempat yang sama, mereka kembali melangkah
semakin mendekat. Irasita menyadari hal itu dia menarik tangan Raina
mengingatkan.
“Kak Raina… hentikan
sebelum semuanya terjadi lagi.” setelah mengatakan hal itu Irasita
meninggalkan Raina. Raina pun tak acuh dengan peringatan Irasita, dia
tetap melangkah. Rupanya Irasita berlari menuju jembatan komunikasi dan
dipanggilnya saudaranya ke tempat itu. Aysel pun datang menghampiri
Irasita dijembatan komunikasi itu, tak lama terjadilah percekcokan
diantara keduanya yang akhirnya membuat Aysel tertunduk lemas dan tidak
mampu membantah Irasita kembali.
Raina melihat Aysel
berjalan ke tempat itu, namun tatapan hangat untuk Raina telah berubah
manjadi tatapan sedingin es. Dan Aysel tak pernah mau menatap Raina
kembali. Raina merasa gelisah dengan perlakuan Aysel padanya.
Suatu hari Raina
mendapatkan sebuah surat dari saudaranya yang telah lama meninggalkan
negeri itu bersama belahan hatinya ke negeri lain. Isinya hanya satu,
bahwa saudarinya akan membantu Raina mendapatkan impiannya. Raina merasa
gelisah dengan isi surat itu. Dia menangis, kembali berdiri ditempat
biasa dia bertemu Aysel. Ayselpun datang menghampirinya, kali ini dia
mau menatap Raina, walau hanya sekejap. Raina merasa sedikit lega. Tapi
kini hanya diliputi rasa bimbang. Dia berlari ke kamarnya. Menangis
sejadinya dengan kebingungan yang meliputinya. “Tuhan tunjukkan mana
yang Kau sukai, agar aku bisa menyukainya juga.” Rintihnya. Dalam
kebingungan dan rasa sedih yang mendalam, Raina berlari ke tepian sungai
menghampiri rakitnya yang tersangkut di semak tepian sungai. Dengan
kedua tangannya Raina menghacurkan rakit itu sendirian. Aysel terkejut
melihat apa yang dilakukan Raina.
Meski lega telah
melakukan hal itu, hati Raina tetap teriris melihat kebingungan,
keterkejutan dan kesedihan Aysel karena perbuatannya itu. Lewat secarik
kertas Aysel dapat memahami mengapa Raina melakukan itu. Dia pun
menerima bahwa apa yang dilakukan Raina adalah hal yang tepat meskipun
dia tak menyangka bahwa Raina akan melakukannya itu.
Rupanya kebingungan masih tetap menguasai Raina. Tuhan, bimbinglah aku kearah yang kau cintai… desisnya.
Irasita datang memeluknya dengan lembut. “Aku disini kakak… menemanimu…” bisiknya.
“kakak? Maksudmu? Bahkan kau tak lagi menyebut namaku?” Tanya Raina diliputi perasaan senang dan haru.
“Ya, kakak…” Bisik Irassita.
Comments
Post a Comment