Mei
1990
Sepanjang
malam bayi perempuan itu menangis, ibunya berusaha meredakan tangisnya dengan
berbagai cara, ditimang, disusui, diberi makanan dan apapun yang bisa dilakukan
wanita paruh baya itu untuk mendapatkan putri bungsunya meredakan tangisnya. Alhasil
hingga shubuh menjelang si bayi masih menjerit-jerit. Rasa lelah dan kantuk telah
menguasainya, tapi ketidaknyamanan pada putrinya mengalahkan semua itu. Bahkan sampai
suaminya pulang dari masjid bayi itu masih menangis dalam pelukannya. Suaminya segera
mengambil bayi itu dari pelukan wanita itu dan membawanya keluar rumah. Sedangkan
istrinya segera pergi istirahat setelah semalaman begadang membersamai
kerewelan putri kesayangannya itu.
Lelaki
itu mengajak bayi itu berjalan-jalan diluar rumah. Tangis bayi itu mulai
mereda, nafasnya tersengal-sengal terlalu lama menangis.
“Cireng
pak, masih panas...” tawar seorang ibu tua penjual cireng yang masih
tetangganya.
Tanpa
berkata-kata lelaki itu mengambil cireng yang hangat kuku dan menyerahnya pada
bayi usia delapan bulan yang ada dalam gendongannya. Kemudian dia menyerahkan
uang recehan pada ibu tua gemuk penjual gorengan itu.
Lelaki
itu kembali berjalan ke arah lapangan sepak bola yang menjadi tempat favorit
anak-anak bermain. Sedangkan tangis anak itu telah berhenti sama sekali. Ia mulai
sibuk mengulum cireng yang ia pegang dengan kedua tangannya. Giginya yang belum
tumbuh tak pernah bisa membuatnya benar-benar menggigit makanan itu.
Sampailah
ayah dan anak itu dilapangan sepak bola, sepi tentu saja. Tak ada anak yang
bermain bola karena waktu masih sekitar pukul lima pagi, yang ada hanya
nyanyian burung-burung yang bernyanyi saling bersahutan. Lelaki itu duduk di
salah satu bangku besi di lapangan. Matanya menatap ke arah bulatan jingga yang
merona di ufuk timur sana. Sedangkan angin menghembus halus rambutnya, mengusap
kulitnya dan membelai pipi anak yang mulai terkantuk-kantuk dalam pelukannya. Bayi
itu akhirnya terlelap dalam smimpinya setelah semalaman menangis dan meresahkan
kedua orang tua dan saudara-saudaranya.
Itu kenapa aku mencintai fajar...
***
Bulan
yang tak diingat ditahun 1996
Akhirnya...
Awan
mendung di langit itu mulai menumpahkan ribuan tetes air ke bumi. Anak-anak perempuan
yang sedari tadi menanti kedatangan hujan bersorak, tawanya renyah bersahutan
dengan suara benturan air di tanah, genting dan pepohonan. Seorang anak yang
paling muda diantara mereka tampak lebih riang dibanding yang lainnya. Dia menari-nari
antusias, inilah pertama kalinya bagi ia... Hujan-hujanan bersama dengan
teman-temannya. Bersama dengan yang lainnya ia berlari mengitari daerah sekitar
rumahn. Hujan mulai mereda menyisakan gerimis yang halu, tapi tawa gadis kecil
itu dan rasa senang dihatinya tak turut mereda. Meski tubuhnya menggigil dan
bibirnya pucat.
Gadis itu memasuki gerbang dan
melewati pekarangan rumah dengan mengendap-ngendap. Mengerti bahwa ayahnya
sedang ada dirumah, jika ia mendapati dirinya basah kuyup karena bermain
dibawah hujan, petir dadakan pasti akan menggelegar di rumahnya. Ia membuka
pintu dapur dengan perlahan-lahan berharap suara handle pintunya tidak
mengeluarkan bunyi yang bisa mengabarkan ayahnya bahwa putrinya pulang dalam
keadaan basah kuyup. Masih dengan mengendap-ngendap ia berjalan ke arah kamar
mandi yang telah nampak saat ia membuka pintu dapur.
“Hujan-hujanan??”
sebuah suara mengejutkannya. Gadis kecil itu segera melirik ke arah kirinya,
tampak tubuh besar ayahnya telah berdiri di pintu yang menghubungkan dapur
dengan ruang keluarga itu.
Gadis
itu mengangguk-angguk.
“Kamu
tuh bandel sekali nduk! Nanti kamu sakit, masuk angin, bikin repot ibumu aja! Kamu
sendiri juga yang susah.” akhirnya petir itu menyambarnya. Gadis itu tertunduk.
Tubuhnya bergetar karena menggigil. Ia melirik ayahnya lewat ekor matanya.
“Sekali
lagi hujan-hujanan... ndak boleh pulang sekalian.”
“NGERTI...!!!”
bentak sang ayah. Gadis kecil itu mengangguk cepat.
“Yo
wis, mandi sono. Tar kamu masuk angin lagi...”
“Iya
pak...” jawabnya. Tanpa pikir panjang dia langsung berlari ke kamar mandi.
Itu kenapa aku mencintai hujan...
***
Juli,
2002
“Pak...
ayo dong pindahin, aku mau nonton film...” gadis itu mulai merajuk pada ayahnya
yang asyik menonton siaran langsung piala dunia.
“Ra
iso, bapak lagi nonton bola.”
“Alah
pak... apa ramenya sih? Bola siji, direbutin aja kok ditonton?” Gadis itu
mengerucutkan bibirnya.
“Final
nih nduk. Coba lihat, ini Brasil melawan Jerman. Tumben Jerman bisa masuk
final.”
Gadis
itu masih cemberut.
“Lihat
tuh nduk, yang kepalanya botak dan ada rambutnya sedikit di depan itu, itu
namanya Ronaldo, strikernya bagus mainnya. Kalo di Jerman itu ada Ballack dan
Klose yang bagus, kaptennya sekaligus kipernya namanya Oliver Khan.”
Gadis
itu masih tetap cemberut. Ekor matanya melirik ayahnya sebal.
Dengan
terpaksa ia turut menyaksikan pertandingan itu. Meski ia tak mengerti sama
sekali dengan permainan itu.
Lama
kelamaan hatinya mulai luluh dan ia mulai menikmati acara itu hingga selesai.
Juli,
2006. Piala Dunia di Jerman
Tanpa
dipaksa sang ayah akhirnya gadis itu mulai kerajingan menikmati setiap
pertandingan piala dunia di Jerman. Bahkan ia mulai memonopoli tv dari
saudara-saudaranya. Ia pun mulai mengenal pemainnya satu persatu.
“Hampir
semua negara eropa itu bagus-bagus pemainnya nduk.”
“Negara-negara
di Eropa juga cantik-cantik ya pak?”
Ayahnya
mengangguk.
“Jerman
juga keren ya sekali ya pak. Suatu hari aku mau kesana, kemana ajalah yang
penting negara eropa. Boleh ya pak?”
Ayahnya
kembali mengangguk, diseruputnya kopi hitam yang mengepulkan asapnya.
“Eropa
itu di Barat ya pak? Jadi kalo lurus dari sini terus sampe ke Eropa ya pak?”
celoteh gadis itu sambil menunjuk ke arah barat.
“Ndak...
ndak... tapi nyerong dikit ke utara.”
“Oh
iya ya pak...” gadis itu mengangguk-angguk tanda mengerti.
Sore
itu ia berdiri dibalik jendelanya, matanya tertuju kearah barat laut, tempat
yang ditunjukkan ayahnya bahwa benua biru itu terletak disana. Namun...
Mentari
mulai beringsut ke peraduannya memancarkan sinar jingga yang merona penuh
pesona.
Itu kenapa aku mencintai Eropa dan
Senja...
Cinta
itu adalah... kamu. Dimanapun dan pada apapun aku bisa menemukan cintamu, pada
fajar yang romantis, pada hujan yang penuh cerita dan pada senja yang
mempesona. Semua itu adalah cintamu...
Happy
Milad, Abi...
Barakallah
fii Umriik... J
untaian kata yang mempesona, wew...
ReplyDelete