Tatapannya
kosong pada sebuah sangkar kosong yang tergantung pada pohon di belakang
rumahnya. Bibirnya diam membisu. Kaki kananya ditopangkan ke kaki kiri, begitu
pun dengan tangannya. Dia telah seperti itu sejak satu jam yang lalu. Tidak
dengan otaknya, otaknya berpikir keras dan lamunannya berlari kesana kemari.
Aku
duduk disampingnya, menjejerinya tanpa kata. Ia tetap tak bergeming dengan
kedatanganku, meski hanya sekedar ekor matanya yang tergerak. Tatapannya masih
terpaku pada sangkar coklat itu.
“Kau
tahu kenapa sepasang merpatiku tak lagi disana?” akhirnya kata-kata itu datang
memecah kesunyian setelah sepuluh menit bergulir sejak aku duduk menyertainya.
Aku
menggeleng, “Tidak.” Ujarku kaku.
“Si
betina terbang entah kemana... sedangkan si jantan mati disangkar itu.” jelasnya datar tanpa ekspresi.
“Bukankah
sepasang merpati itu...”
“Benar,
itu hadiahnya.” Dia memotong kalimatku sebelum aku benar-benar
menyelesaikannya.
Aku
mengangguk-angguk.
“Merpati
betina itu pergi dan merpati jantan itu mati setelahnya. Entah mungkin merpati
jantan yang mati duluan, kemudian si betina melarikan diri setelahnya.
Entahlah... aku tak benar-benar tahu kronologinya. Yang pasti si betina pergi
entah kemana, dan si jantan mati.” Ia memberi penekanan pada kalimat
terakhirnya. Pandangannya masih terpaku pada sangkar itu, tanpa sedikitpun
menoleh ke arahku.
“Orang
bilang, merpati itu hewan yang setia. Oleh karena itu burung itu lambang dari
kesetiaan? Benarkah?”
“Lantas...
apa kau maksud si betina akan kembali ke sangkar itu? karena ia setia?”
tanyanya dengan nada yang tajam terasah. Kini kedua matanya yang memerah
menatapku tak kalah tajamnya.
Well, sepertinya aku salah memilih
kata... ia dengan tepatnya menebak apa yang aku pikirkan.
“Mungkin
ia telah menemukan sangkar baru yang lebih indah? Ditempat yang tak pernah kita
tahu. Dimana pun itu.” tuturku hati-hati.
Ia
tersenyum satire mendengar penuturanku. Air matanya mulai menggenang di pelupuk
matanya. “Kuharap begitu. Karena jika pun ia kembali untuk apa? Untuk sebuah luka
yang harus ia rasakan sendiri.” Ceracaunya.
Aku
tahu ia sedang membicarakan dirinya sendiri. Kata-katanya mengingatkan aku pada
kejadian pahit setahun yang lalu dan aku yakin itu pun yang sedang ia
kenang saat ini. Kisah kematian selalu menjadi bagian terpahit yang menohok di hati. Tak bisa berontak tak bisa protes, namun hal itu bisa terjadi kapan saja, dimana saja, bahkan pada siapa saja. Ia tertunduk, pelupuk
matanya sudah tak mampu membendung air mata yang semakin melimpah. Mulailah ia
tergugu dalam tangisnya, bibirnya berkomat-kamit melafalkan istighfar. Aku diam
membisu. Tak mengerti apa yang mesti aku katakan. Apa yang mesti aku perbuat.
Menghibur pun rasanya sudah tak berguna lagi.
Ia
menegakkan wajahnya. Menghapus air mata yang telah membasahi pipinya. Lantas ia
memandangku erat dengan matanya yang memerah.
“Kau
harus berjanji bahwa kau akan membantuku mengubur cerita ini dan tak akan
pernah mengungkitnya dihadapanku.
“Kau
harus ingat bahwa hidup ini bukan sebuah persepsi sempit yang kau yakini. Ada
banyak kemungkinan lain yang lebih baik dari yang kau sangka. Jangan pernah
kurung dirimu dengan keyakinan yang
berbalut ambisi. Karena Allah selalu menyiapkan kejutan lebih dari yang
kau inginkan. Lupakan tentang hasrat pribadi yang bisa mencampuri urusanNya.
Karna sampai kapanpun kau tak akan
pernah bisa ikut campur dengan urusanNya, itu hanya akan membuatmu lelah dan
putus asa. Yang terpenting adalah kau menerima keputusanNya dengan lapang.”
“Lantas?
Apa yang harus aku lakukan?”
“Lakukan
saja yang sekiranya itu benar dalam pandanganNya, dan itu bisa membuatNya
senang.” Jawabmu.
“Lalu...
meski itu tak sesuai dengan keinginan?”
“Apalah
artinya sebuah keinginan? Bukankah tanpa kau berkeinginan pun Dia telah
mencukupimu? Saat kau menyadari bahwa apa yang kau terima dariNya lebih cukup.
Kau akan lupa dengan keinginanmu, dan dari hatimulah akan terpancar syukur. Dan
Dia akan terus mengalirkan semua yang kau butuhkan tanpa mengambil apa yang
telah diberikanNya. Jadikan apa yang kau usahakan sebagai jalan semakin
mendekat padaNya."
Dia
beranjak dari tempat duduk dan mulai melangkah meninggalkanku sendiri sebelum
aku selesai mencerna kata-katanya. “Lantas apa yang membuatmu menangis?” tanyaku
menghentikan langkahnya lalu ia menoleh ke arahku, “Aku terlambat menyadari
semua itu.”
“Bukan
karena merpati itu?” tanyaku lagi. Ia menggeleng lantas pergi meninggalkanku
yang kini terpekur.
Ku pikir..., bisikku.
Aku
memandang benda bulat dilangit barat laut sana. Matahari yang telah sampai pada
titik lelahnya.
Comments
Post a Comment