Skip to main content

Mengurai Kabut

Ia masih terduduk diatas tempat tidurnya, matanya memerah, gelisah menatap setiap rintikan hujan yang lesu dibalik jendelanya. Angin berhembus membekukan aliran darahnya. Wajahnya memucat seperti bulan kesiangan dan tubuhnya serapuh daun yang disapu angin. Bibirnya bergetar meluncurkan ribuan do'a ke langit. Sesekali ia sesegukan menahan berat di dadanya.
***
"Beri aku waktu sepuluh menit saja." Lelaki itu memohon padanya. Ia masih diam di tempat duduknya, tanpa menoleh sedikit pun pada lelaki yang duduk di sebelahnya. Jarinya memainkan ujung jilbabnya, sedang tatapannya menatap papan tulis. kosong.
"Aku sa... sayang k-kamu, Na. Sangat." Ujar lelaki itu terbata. 
Ia masih tenang seperti biasanya sebelum akhirnya ia beranjak dari tempat duduknya.
"Apapun reaksimu, setidaknya aku telah mengatakannya padamu dan kau mendengarkannya, kau tahu sekarang." desis pemuda itu. sebelum wanita pujaannya pergi keluar kelas yang sedari tadi bising oleh siswa yang lain.
Ia pun berlari ke belakang kelas, sudut matanya telah basah, dadanya sesak dan ia mulai tergugu sendiri. Kedua tangannya yang kurus menutupi wajahnya yang mulai merah padam tenggelam dalam tangisnya.

***

Siang itu matahari seperti sedang menunjukkan keperkasaannya, sinarnya menelusup ke sela-sela dedaunan. Ia berjalan perlahan dilorong kelas dengan tumpukan buku ditangannya.
"Bisa aku bantu na?" Lelaki itu telah berdiri dihadapannya dengan bola basket yang dia apit di lengan kanannya. Tubuh tinggi dan hitam manis yang masih dalam balutan seragam basketnya, terlihat gagah dan keren meski bau matahari menyeruak tak pernah melunturkan pesonanya. Dia baru keluar dari permainan dan meninggalkan kawan-kawannya ketika matanya menangkap gadis itu kepayahan dengan tumpukan buku itu.
"Tidak perlu. Terimakasih." Ia segera bergegas meninggalkan lelaki itu sebelum lelaki itu berbuat macam-macam, minimal mengulangi kalimat yang sama, yang ia luncurkan kemarin padanya.
"Na, kau marah padaku gara-gara kemarin?" lelaki itu berusaha mengejarnya. Ia pun tak mau kalah. Ia mempercepat langkah kakinya. Hingga badannya limbung dan menabrak tiang. Buku-bukunya berhamburan dari tangannya dan berserakan dilantai. Derai tawa teman-temannya segera riuh memekakan telingannya.
Lelaki itu menebarkan pandangannya pada anak-anak yang tertawa tadi dan menunjukkan ketidaksukaan atas sikap mereka.
"Apa ada yang terluka? Aku bantu, Na." ujarnya seraya meletakkan bola basketnya lalu bergegas membantu gadis itu memunguti buku yang berserakan itu.
"Bisakah kau pergi dari hadapanku. Sekarang juga?" Ucapnya ketus dengan getaran-getaran yang mengiringi.
"Bisakah kau jelaskan padaku, Na? kenapa kau lakukan ini padaku?" Lelaki itu menghentikan tangannya yang sibuk mengumpulkan buku-buku yang berserakan. Matanya menatap tajam pada sosok gadis yang diam tertunduk menatap lantai. Tubuhnya bergetar menahan tangis, namun tak ada setetes air mata pun yang meluncur di ujung matanya. Ia paham bahwa haram baginya menangis dihadapan lelaki itu.
"Apa aku salah dengan rasa ini? Baiklah... aku pergi Na." Lelaki itu mengambil bola basketnya dan segera pergi meninggalkannya.

***

Menara Jiwa, 3 Oktober 2005
Adakah yang salah dengan rasamu? aku pikir tidak. Tapi aku takut dengan rasamu itu. Benar, aku takut. Saat kau mengatakannya, sesuatu seperti meremas jantungku. Meringkus paru-paruku hingga aku kepayahan untuk bernafas. saat kau mendekat, tubuhku serasa ambruk tak bertulang, aku tak mampu berdiri tegak lagi, darahku mogok untuk mengalir dan otakku turut kacau, menghancurkan semua susunan kata yang telah aku persiapkan untukmu.
Aku hanya takut. Aku bukan benci. Begitulah Arka. Ku harap kau memahaminya, bahkan aku pun tak tahu bagaimana cara memahamkanmu agar kau paham caraku. Terlalu sulit untuk ku jelaskan. Setiap kali ingin aku berucap bibirku terlanjur kelu. Aku ingin sekali menjelaskannya padamu, tapi biarkan waktu, biarkan Dia menjelaskan mengapa aku bersikap ini padamu.

***
"Kau ikut denganku sekarang, Na." Saudarinya telah berdiri dihadapannya mengembalikan khayalannya yang berlari kesana kemari. Ia terhenyak. Hujan kini telah benar-benar reda.
"Arka..." tangisnya mulai pecah dipelukanya saudarinya itu.
"Cepat bersiaplah, kita pergi sekarang juga." gadis itu segera melepaskan pelukannya dan bergegas keluar.
Ia langsung menyabet jilbab cokelat yang digantungkannya di kastock dan mengejar langkah saudarinya.

Daun-daun meneteskan sisa-sisa hujan tadi, aroma tanah basah menyeruak menyambut kedatangan mereka. Udara sejuk tak kalah menusuk-nusuk tulang mereka. Langkah keduanya justru semakin melemah, keduanya tampak ragu saat tujuan hampir dicapainya. Suasana sudah sepi, tapak-tapak kaki ditanah basah masih nampak terlihat, pertanda mereka belum lama meninggalkan tempat itu.
Ia mendekati tempat itu, kini hatinya tak lagi bisa mengelak. Jelas nyata. Ia mulai mengeja nama yang tertulis pada nisan kayu itu "Arka Pranata". Diatasnya taburan bunga mawar, kenanga, dan anggrek menutupi tanah menggembung itu. Karangan-karangan bunga tertulis pula atas nama itu.
Tangannya bergetar mengusap nisan itu. Bibirnya semakin giat meluncurkan beribu do'a ke langit.

***

Gelembung Duka, 16 Mei 2007

Aku paham, mestinya aku tak pernah membuatmu bertanya-tanya. Tak harus aku membuatmu terluka dengan sikapku. Mestinya ku paksakan saja bibir ini mengurai kabut itu bahwa aku tak mungkin bisa seperti yang lain, sekalipun aku mampu merasakan apa yang kau rasakan padaku.
Ini bukanlah sekedar prinsip, tapi ini tentang kebenaran yang harus kita tunaikan dan ini tentang ketentuanNya. Saat keyakinanku hadir bahwa Dia akan menjelaskannya padamu, ku pikir Dia takkan menjelaskannya dengan cara seperti ini. Tapi ini adalah caraNya, dan Dia menunjukkan cintaNya dengan membawamu kembali sebelum kau melangkah terlalu jauh. Semoga tangismu, lukamu dan sakitmu menjadi pelebur kekhilafanmu. Aku tahu aku tak pernah pantas berkata demikian yang telah membuatmu terpenjara dalam kebingungan selama bertahun-tahun ini, aku hanya berharap Dia pun melebur kekhilafanku dengan rasa perih kehilanganmu dan sesalku yang tak pernah tahu kapan semua itu berakhir. Maafkan aku... mestinya aku tak pernah membiarkanmu tenggelam menyusuri kabut itu sendirian mencari sepotong cahaya yang aku genggam sendiri.









Comments