Skip to main content

Jingga

“Kita mencintai hujan di pagi hari. Karena ianya...” kata-katamu terhenti sejenak. “Begitu syahdu.” Ucap kita bersamaan. Kau menarik tanganku menembus gerimis halus yang menyenandungkan lagu lembut yang hanya bisa disimak oleh orang-orang berhati lembut sepertimu. Kaki-kaki kita memercikan air dalam kubangan sisa hujan deras shubuh tadi.
“Menikahlah, Jingga...” gumammu. “Aku tahu kau membutuhkan seseorang yang lebih untuk mendampingimu.” Ia melirik ke arahku. Kedua manik mata itu tampak berbinar penuh harap.
“Kau lebih dari sekedar saudara dan sahabat bagiku.” Jawabku.
“Aku tahu, setiap malam kau memimpikan seorang pangeran di sisimu. Seseorang yang tidak hanya menyerahkan bahunya dan menggenggam tanganmu saat kau menangis. Tapi ia yang juga selalu berusaha untuk membuatmu bahagia.” Katamu dengan suara nyaring seperti kicauan burung pagi ini yang hilang karena gerimis masih bersenandung.
“Kau sendiri?” tanyaku. Ku hentikan langkah kakiku. Kau terlambat berhenti lantas berbalik menoleh ke arahku. Kau mulai terkekeh menertawaiku. Tawa yang demikian renyahnya.
“Kau tak perlu memikirkan aku.” Ujarmu. Bagaimana mungkin aku tak peduli padamu? Jika selama ini kita bersama. Bersama sejak dalam rahim, meski hanya tersekat beberapa waktu pada akhirnya kita sama-sama ke dunia ini. Tumbuh bersama, lantas sekarang...
“Aku takut...” desisku
“Sudahlah Jingga.” Kau menarik kembali tanganku. “Kau tak perlu takut patah hati lagi. Aku yakin Tuhan sudah menyiapkan pangeran yang tepat untukmu. Suatu ketika, kalian akan bertemu dengan jalan takdirNya dan cinta akan bersemi, bahkan tumbuh dengan cepatnya.” Kau terus berceloteh sesukamu.
***
“Esok aku menikah, Nila...” desisku. Kali ini gerimis pagi tidak lagi syahdu tapi benar-benar menyakitkan tanpamu. “Kemana engkau? Bukankah kau yang paling menginginkan melihat pernikahan ini?”
Ku tatap langit masih kelabu dengan tetesan airnya. Mentari masih bersembunyi di entah. Tanpamu, aku tak bisa mendengar syahdunya senandung gerimis lagi. Apa karena hatiku yang terlalu beku dan keras?
Pulanglah, Nila...
Aku minta maaf atas keegoisanku. Aku hanya ingin kau di sini bersamaku. Izinkan aku bahagia tanpa ada yang terluka. Tanpa ada seorangpun, terutama engkau yang selalu membuatku bahagia meski kerap mengorbankan perasaanmu.
Gerimis lembut itu mulai menderas. Angin ikut menghembuskan kebekuan. Kepalaku mulai terkulai menyentuh lutut. Kebekuan yang dihembus angin tidaklah lebih beku dari kepergianmu.
Apakah kau sedang menghukumku karena keegoisanku? Aku yang tak pernah mampu mengorbankan perasaanku untukmu. Katakan jika ada yang tak dapat ku pahami lewat laku. Katakan jika ada tingkah yg melukaimu. Karena sungguh aku mencintaimu lebih dari sekedar saudari... tapi aku juga mencintainya seperti ia mencintaiku.

*Gambar dari sini

Comments