Skip to main content

Nila

Lagi kau datang menghampiriku dengan wajah ditekuk. Padahal senja di luar sana begitu cantik tanpa mendung seperti yang kau suka. Ada tangis yang tersendat di kelopak matamu. Bibirmu bergetar tapi kau mencoba tetap tegar. Aku menghela nafas lelah. Ku tatap kau dengan pandangan iba. Biar ku tebak, lagi-lagi para lelaki itu menolakmu. Apa yang salah denganmu? Pikirku. Kau cantik, anggun dan begitu lembut. Hatimu demikian halus. Ah, aku tahu. Tuhan sedang melindungimu dari para lelaki itu dan menyiapkan seseorang yang terbaik untukmu. Tuhan menyiapkan seseorang yang paling pantas untuk mendampingimu karena kau istimewa, bisikku dalam hati.
“Kemarilah...” ku rentangkan tanganku menyambutmu. Kau segera menghambur dan ku benamkan kau dalam tubuhku. Tangismu mulai meleleh. Tergugu kau dalam pelukkanku.
“Apa yang salah denganku, Nila?” bisiknya dalam keterguguan.
“Tidak ada.” Jawabku pendek. Ku hela nafas sejenak berharap kau tak mendengar tangis yang mulai mengisak di hatiku. “Percayalah, Tuhan...”
“Ingin yang terbaik untukku?” Kau memotong kalimatku.
“Hu-um.” Jawabku pendek.
“Seperti apakah yang Ia mau, Nila?” tanyamu lagi. Dalam gerakan cepat kau melepas rangkulanku dan menghujaniku dengan tatapan menghakimi.
“Entahlah... yang jelas seseorang terbaik dan istimewa yang masih Ia simpan untukmu dan akan diberikan pada saatnya nanti.” Aku berusaha menghiburmu meski aku tahu hiburan itu telah begitu klise hinggap di gendang telingamu.
“Apakah Tuhan tidak tahu aku telah merindukan pernikahan sejak sangat lama?” Kau menatapku nanar. Pandangan yang menusuk bola mataku, seakan di sinilah kau bisa menemukan jawaban atas tanyamu itu.
“Tidak, Jingga!” Aku menggeleng. Kali ini embun mulai menutupi pandanganku. “Tuhan tahu tapi menunggu.”
Kau kembali tergugu dalam tangismu. Lantas menjatuhkan tubuhmu di kasur, menghujani bantal kesayanganmu dengan air mata.
***
Senja yang tak dapat ku mengerti sore itu saat kau pulang dengan wajah lelah. Kali ini tak ada gurat kesedihan di wajah yang selalu ceria itu kecuali jika kau baru saja mendapat penolakan. Mungkin karena warna jingga dan violet dengan sedikit nila sedang terlukis di langit sebelah barat sana. Entahlah, hanya saja kau mengejutkan aku dengan menjatuhkan tas kerjamu di lantai dan segera memburuku dengan sebuah pelukan gemas tanpa peduli tubuhmu bau polusi asap kendaraan di luar.
“Coba tebak! Apa yang ku dapat hari ini?” tanyanmu dengan nada yang demikian riang. Seriang anak SMA yang sedang jatuh cinta. Bahkan aku lupa, kapan terakhir kau bisa tertawa serenyah itu.
“Kau baru dipromosikan?” jawabku ngasal. Aku benar-benar tak punya jawaban apapun untuk menjawab tanyamu. Di otakku saat ini hanya ada deadline, deadline dan deadline yang harus segera ku lunasi. Kau segera menggeleng cepat.
“Dia baru saja melamarku dan akan segera menemui ayah.” Kau berteriak demikian histeris.
“Dia?” aku mengernyitkan dahiku. “Dia yang mana?”
“Gris. Siapa lagi?” Jawabmu begitu histeris.
“Gris?” ku gumamkan nama itu pelan. Bahkan aku jamin kau pun tak dapat mendengarkan gumamanku. Aku tak dapat menyembunyikan perasaanku, Jingga. Dadaku menjadi menyusut saat kau menyebut nama itu. Sejak itu aku mulai menulikan telingaku dan membutakan mataku. Tak ada lagi ruang untuk menerima celotehanmu tentang ia yang jika sedikit saja ku buka telingaku, ia akan masuk seperti jarum yang menusuk.
***
“Esok kau akan menikah, Jingga...” dan aku adalah orang paling pengecut menghadapi kenyataan itu. Katakanlah, apa aku masih pantas kau sebut saudari? Lari di saat hari paling kau nantikan sepanjang hidupmu. Harusnya esok menjadi hari paling bahagia untukku. Karena akhirnya Tuhan mengabul doa kita. Pada akhirnya Tuhan mendatangkan seseorang yang istimewa itu untukmu. Hanya untukmu! Tapi mengapa harus Gris? 
Ah, mengapa aku harus bertanya mengapa harus Gris? Tentu saja karena Gris yang paling tepat untuk mendampingimu, bukankah aku sendiri mengakui Gris adalah yang teristimewa?
Hujan pagi ini tak lagi syahdu tanpamu, Jingga. Gigil menusuk. Jingga, izinkan aku untuk egois, sekali ini saja. Pergi karena keegoisanku. Karena ketidakmampuanku menerima kenyataan ini. Padahal jelas sudah, kalian saling mencintai dan tak ada tempat untuk wanita lain seperti aku. 

Comments