Skip to main content

Posts

Showing posts from 2011

Terjebak Persepsi

Bismillah... Hikmah dari biografi Jean Paul Sartre yang tertuang dalam novelnya “Les Mots” atau “Kata-kata” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sartre adalah salah satu penulis Perancis yang mengenalkan aliran ekstensialisme. Ekstensialisme adalah sebuah aliran yang mengutamakan eksistensi dan kebebasan manusia. Ada satu hal yang menggelitik dalam perjalanan hidupnya. Awalnya beliau adalah seorang yang mempunyai kesadaran diperhatikan oleh Tuhannya. Jean Paul kecil saat itu sedang bermain di rumahnya, kemudian tanpa disengaja dia membakar karpet. Pada saat itu tak ada seorang pun yang melihat perbuatannya, baik ibunya   maupun ayah tirinya. Akan tetapi dia merasa ketakutan karena dia merasa ada mata Tuhan yang selalu mengintai dan memperhatikannya. Jean Paul berlari kesana kemari, akan tetapi dia selalu merasa diawasi. Sekalipun ketika Jean Paul berlari ke kamar mandi, “mata” itu terus melihat dan menghakimi perbuatannya itu. Hingga Jean Paul merasa frustasi

Que Sera Sera

When I was just a little girl I asked my mother, what will I be Will I be pretty, will I be rich Here's what she said to me. Que Sera, Sera, Whatever will be, will be The future's not ours, to see Que Sera, Sera What will be, will be. When I was just a little boy I asked my mother, what will I be Will I be handsome, will I be rich Here's what she said to me. Que Sera, Sera, Whatever will be, will be The future's not ours, to see Que Sera, Sera What will be, will be. Bersamamu ibu, kita rangkai mimpi itu bersama... :)

Ayah

Meski kau tak pernah menunjukkan cintamu seperti ibu Selalu ada cinta, Dalam setiap helaan nafasmu, dalam setiap detak jantungmu Ayah, ajarkan aku mencintaimu Seperti cintamu yang tak pernah padam Ajarkan kami bersabar padamu Seperti sabarnya dirimu menghadapi rengekan kami Ayah, beri kami kesempatan untuk membahagiakanmu Meski hanya setitik dari pengorbananmu yang tak bertepi Dan kau Ayah... Matahariku yang tak pernah berhenti bersinar...

Cinta, Love dan L'Amour

Cinta Aku bertanya pada alam semesta tentang arti cinta, lalu satu persatu mereka menjawab tanyaku... Bumi menjawab: “Cinta adalah hamparan tempat tumbuh segala bahagia dan harapan akan itu. Ia memang diinjak dan dihinakan, tapi ia tak pernah peduli. Pikir cinta hanya memberi, dan itu sajalah inginnya.” Air menjawab: “Cinta adalah hujan yang menumbuhkan benih-benih kesukaan, kerelaan, akan keterikatan, kerinduan dan kesenduan,  atau samudra yang luas sebagai naungan segala perasaan. Api menjawab: “Cinta adalah panas yang membakar segala, ia memusnahkan untuk dapat hidup dan menyala. Demi merasakannya, makhluk rela terbakar dalam amarah dan kedurhakaan. Angin menjawab: “Cinta adalah hembusan yang menebar sayang tanpa tahu siapa tujuannya. Orang bilang ia buta, sebab itu inginnya. Ia tak terlihat, tapi tanpanya segala raga akan hampa.

Jejak Di Atas Pasir

Langkah itu meninggalkan jejak-jejaknya pada pasir putih Pada desiran angin, nyanyian itu bersenandung Pada langit sore, lembayung jingga melukiskan kisah hati Dan pada cangkang kerang yang beserak, aku bertutur Hingga tebing itu menggemakan bisikan jiwa yang membahana Menegakan karang untuk tetap kokoh menghadapi hantaman ombak Biar ku susuri diri, apa maunya dia berkata Lepas hati memahami sekeping hasrat yang bertanya

Salam Rindu untuk Sang Aktivis

Tubuh itu menggelepar dijalanan, berlumurkan darah Kepalanya terluka Tubuhnya penuh luka memar Tapi hatinyalah yang paling tersakiti Hati keluarganya, dan hati orang-orang yang mencintainya Meski harus meregang nyawa Dia puas... Merasa sangat puas dengan apa yang telah dilakukannya Pejuangannya, bukan perjuangan biasa Dia persembahkan untuk ummat Sang aktivis luar biasa Pahlawanku... Yang bukan hanya pandai beretorika Yang tidak pernah menciut nyalinya

Bagilah Bebanmu Denganku

Mataku masih enggan berpaling, lewat jendela kamar ku pandangi mentari yang mulai turun di ufuk barat. Lembayung senja mula merekah mengiringi kepergian mentari yang tampak lelah setelah bersinar seharian. Tapi tidak denganku, aku masih belum lelah, aku masih kuat untuk menampung bebanmu. Aku terlalu segar untuk pergi istirahat tanpa mendengar keluhmu dulu, tanpa memberimu bahu untuk membagi beban denganku. Bukankah kau pilih aku karena kau percaya padaku untuk mengatasi setiap permasalahan yang kita hadapi bersama-sama? Lantas kenapa kau masih diam membisu di sudut ruang kerjamu dengan kiloan beban yang memenuhi hati dan pikiranmu. Apakah kau tak percaya padaku? atau apakah kau tak mencintaiku lagi? Apa kau lelah mencintaiku? Matahari benar-benar telah tenggelam, seperti engkau yang tenggelam dalam duka dan bebanmu yang berkepanjangan. Adzan maghrib berkumandang bersahut-sahutan mulai dari Masjid Raya hingga mushola kecil di sudut komplek perumahan. Kau keluar dari ruang kerjamu de

Pendidikan Agama Sejak Dini pada Anak-Anak

Hmmm... terinsipirasi dari komen-komenan di jejaring sosial dengan seorang teman yang saya pun tak kenal dia siapa. Jadi berkeinginan membuat postingan tentang pendidikan anak. (yaa... walaupun belum punya anak, tapi insya Allah sedikit banyaknya sudah belajar dari anak-anak sekitar saya.) Mungkin bahasan ini sudah tak asing lagi bagi kita, anak adalah generasi bangsa selanjutnya setelah kita-kita ini nanti uzur (kita??? lu aje kaleeee... ^^v). Kita pernah dengar istilah bahwa setiap bayi yang lahir itu suci seperti kertas kosong, maka orang tuanya yang membuatnya menjadi seperti apa yang dididikan orang tua padanya. Diluar negeri mungkin juga saat ini di negara kita juga, para orang tua sudah mencetak anak-anaknya akan diarahkan seperti apa kelak. Ada orang tua yang mengarahkan anaknya untuk jadi dokter, guru, seniman dan lain sebagainya. Para orang tua sibuk mengarahkannya dengan mengikutsertakan putra-putrinya les piano, biola, les privat dan lain sebagainya. Ditengah kesibukan

Hujan, Aku Tak Pernah Membencimu

Langit masih berselimut awan mendung yang menggantung. Rintikan gerimis lembut masih jatuh menetes di jilbab unguku. Angin yang menghembus udara beku menusuk hingga ke tulang. Zambrud piramid pun berdiri anggun dihadapanku, nampak segar dengan beberapa pohon yang menyisakan butiran-butiran air hujan pada daun dan batangnya. Beberapa benda cokelat dari biasan warna genting rumah terletak berjauhan. Anak-anak berlari dilapangan yang rumputnya telah gundul dengan bola di kakinya. Merpati-merpati putih, hitam dan cokelat itu terbang, saling berkejar-kejaran, sesekali hinggap di kabel listrik, sesekali hinggap di atap rumah, dan sesekali turun di rerumputan taman rumah. Semua kembali keluar setelah hujan deras pergi, setelah petir yang menjerit-jerit telah berlalu. Hujan, aku tak pernah membencimu, meski aku marah setiap kali kau membawa petir bersamamu Bukankah kau tahu, betapa kawanmu itu selalu membuatku takut? Meski dia gagah, dan kilatan cahayanya indah, tapi aku tak pernah me

Terlanjur Senja

23 November 2011 Mentari bersinar cukup kuat hari ini, tak ada tanda-tanda hujan akan turun segera. Langkah cepatku membelah jalanan Rancabolang menuju tempat pemberhentian mobil angkutan yang setia mengantarkanku ke kampus. Sebuah sirene berbunyi seperti suara sekumpulan nyamuk yang memekakan telingaku. Kulihat sebuah ambulance melaju cepat diiringi beberapa mobil mewah dibelakangnya. 13 Mei 2003 Bunyi telpon memecah kesunyian rumahku yang telah sepi beberapa hari yang lalu, ibu telah dijemput kakak lelakiku beberapa hari yang lalu untuk merawat adiknya yang sakit keras, sedangkan ayahku lebih suka tinggal di ruko yang terletak di depan jalan raya dibanding tinggal di rumah bersamaku, disamping kakak-kakakku yang telah lama pergi merantau ke kota sejak lulus sekolah, melanjutkan pendidikan dan bekerja disana.

Al Qur'an, Subhanallah ya, sesuatu...

Siang itu, menjelang Ashar aku baru bangun dari tidur siangku. Saat teh Rasi datang mendekatiku dengan mushaf hijau kesayangannya. Mulutnya komat-kamit, bukan mengucap mantra tapi sedang muroja'ah atau mengulang kembali hafalan qur'annya. "Morning..." Ucapnya jail padaku, tentu saja bukan waktu yang tepat untuk mengucapkan kata itu di tengah hari seperti ini. Aku mengerucutkan mulutku, pertanda protes padanya.  "Yaa Ayuhaal Muzzammiil... Hai orang yg berselimut..." Lagi-lagi dia menggodaku. Aku pura-pura cemberut "Teteh itu kan untuk membangunkan qiyammul lail..." protesku. "Hihihi..." dia tertawa nyaring seperti anak kecil yang baru diberi uang jajan oleh ibunya. "Da aku teh suka sekali godain kamu teh" Ucapnya meniru suara anak kecil (ini trend di asrama Daarul Ihsan yang dipelopori teh Naya).

Aku ingin kembali...

Aku datang padaMu dalam keadaan hancur dengan diri yang tak pernah tahu kemana lagi harus mengadu dengan tetesan air mata yang tak pernah berhenti mengalir dengan kebingungan yang tak pernah sirna dari benak Allah, aku datang dalam keadaan hancur berkeping-keping dihadapanMu, aku luluh... Aku tahu bahwa setiap saat setiap waktu Kau menyaksikanku mengkhianatiMu, menyakitiMu, dan membuatMu cemburu... Aku malu padaMu untuk kembali, Namun itulah yang Kau harapkan dariku, kembali... Allah, cintaMu membuatku kembali, Kau takkan membiarkanku bermain-main terlalu lama dengan apa yang tak Kau sukai Dan do'a orang-orang mencintaiku, senantiasa memperkuat penjagaan ini Allah, Kau menyapaku dengan segala kelembutanMu, dengan hikmah yang kau hadirkan dihadapanku. Dengan segala bentuk yang membuatku paham bahwa aku salah melangkah.Allah, aku tak ingin kembali melakukan hal serupa. yang ku kutakutkan saat ini adalah jauh dariMu... Allah, jadikan aku selalu dalam peluk hangatMu, Aku t

Kau, Maha Cahayaku

Bismillah Rabb, saat aku meminta kemudahan Kau malah memberiku orang-orang yang harus aku selesaikan masalahnya Aku tak sanggup menjalani ini, aku tak sanggup untuk bisa memahami orang lain. Tidakkah cukup bagiku dengan kepelikan yang sedang aku alami saat ini? Tidakkah mereka mampu memahami apa yang terjadi padaku saat ini? Mengapa yang mereka mau harus saja terpenuhi sedangkan mereka selalu menghambat apa yang harus aku aku lakukan? Kenapa mereka selalu meminta hasil yang maksimal sedangkan mereka tak mau tahu proses yang aku alami? Namun aku mengerti, janjiMu tak pernah salah, "barangsiapa memudahkan urusan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusannya." Rabb, Saat aku meminta padaMu dicintai dan disayangi Kau malah memberiku masalah yang menuntut kedewasaanku

Aku Takut...

Ku takut aku menjadi Ilah Baru bagimu, Sejak getaran itu mulai muncul Ku takut... Otakmu berjihad memikirkanku dan hatimu Istiqamah  merasakan kehadiranku Sekalipun... Sesungguhnya kita tak pernah saling bertemu Untuk saling bertukar tegur Bahkan sekedar saling pandang pun Bagaimana jika... ternyata DIA cemburu? Masihkah hadir pesan singkatku, yang terkirim dengan terbumbui aroma nafsu? Jika ya, jangan sekali-sekali kau menghiraukannya... *Dikutip dari buletin "Syal Ungu PPM edisi 4" karya Chairil Ismail dengan beberapa penyesuaian.

Tak Bergeming

Dan aku masih terdiam disini tak bergeming... Sesaat yang tampak kau melihatku berlari, berlari terus meninggalkan tempat ini. Dan kau menatapku tanpa keluh. Kemudian aku melihat kau berdiri disana, masih disana memandang kegilaanku yang membuncah. Dan aku berlari ke arah manapun yang aku mau. kau pun berlari dengan arah yang pasti, dengan tujuan yang pasti mendekati garis finish. Sedangkan aku? aku baru memulainya... Kau lihat aku? lihatlah, aku seperti menabur pasir menutupi jejak kakiku. Padahal tanganku kosong, padahal aku tak melakukan apapun dengan tanganku. Kau dengar aku? namun yang kau dapat hanya keheningan, padahal disini aku berteriak, berbicara, mungkin pula meratap. Kau rasakan? kau merasakannya bukan? yang kau rasa hanya kedinginan bukan? dingin dan beku, seperti salju yang turun di setiap sudut kota. Padahal aku masih membakar kayu bakar, agar kau tetap merasa hangat di depan perapian yang takkan pernah padam apinya, karena aku akan selalu menjaganya tetap menya

Mimpi

Desember 2006 "Bermimpi?" tatapnya heran. Kedua bola matanya yang bulat melotot memandangku. Aku mengangguk yakin. "Kamu yakin?" tanyanya lagi. Aku kembali mengangguk. "Ada yang salah?" aku balik bertanya. "Tidak! aku hanya takut jatuh setelah aku menggantungkan harapan yang tinggi." Nada suaranya melemah. "Takut?" aku malah balik bertanya. Dia mengangguk. "Pernah kecewa?" Dia mengangguk cepat. " Pernah dan rasanya sakit sekali." "Setelah itu?" aku mencecar pertanyaan. "Seiring berjalannya waktu aku lupa dan aku tak mau lagi kecewa." "Sudah hilang kan? dan kau bisa melupakannya lagi." Kali ini dia mengangguk ragu. "Kau, apa kau tak takut untuk bermimpi?" tanya dia padaku Aku menggeleng. "Tidak! Bermimpi itu gratis bukan?" "Maksudku, kau tidak takut kecewa?" tanyanya, matanya menatapku penuh tanya. "Kecewa? aku lebih takut kecewa di masa yan

Villa ini Bernama Rumah Singgah

Rumah ini terdiri dari tiga lantai, bentuknya ramping saja. Lantai bawah untuk dapur, tempat cuci dan segala keperluan lainnya, sedangkan lantai dua adalah klinik bersalin dan lantai teratas berisi ruang tamu, dua kamar mandi, mushola dan lima kamar tidur untuk pasien rawat inap penderita kanker rahim, baik serviks, ovarium dan apapun yang berhubungan dengan harta wanita itu. Kami menyebutnya villa, karena rumah ini memang mirip seperti guesthouse bagiku. Yang paling ku suka dari tempat ini tentu balkon belakang lantai tiga. Dari sini kita dapat melihat rumah dokter pemilik rumah singgah ini, ya nama sebenarnya adalah rumah singgah, maksudnya adalah persinggahan bagi mereka yang sedang perawatan penyakitnya untuk di kemoterapi di tempat ini dan radioterapi di rumah sakit hasan sadikin setiap harinya, tentulah tempat ini lebih kondusif dibandingkan rumah sakit, lebih nyaman dan lebih segalanya untuk mereka yang sedang dirawat minimal satu bulan ini. Kembali ke cerita tentang balkon

Kineruku

Jum'at siang, saat adzan berkumandang dan para kaum adam siap mendirikan sholat jum'at. Aku dan sahabatku berjalan menembus hujan yang tidak deras, tidak juga bisa dikatakan gerimis. Kami menyusuri jalanan becek, yang membasahi sepatu, kaos kaki dan ujung rokku. Aku kini bisa membuktikan bahwa semangatku tak bisa dihentikan, tak bisa dipadamkan hanya karena hujan justru sedang menebarkan rahmatNya. Tak peduli bahwa bermalas-malasan dikamar dengan selimut ataupun secangkir teh hangat itu lebih nikmat dibanding berjalan dibawah curah hujan yang membasahi jilbabku. Tekadku hanya satu, aku hanya ingin bergerak untuk menyelesaikan amanahku sebaik yang bisa aku lakukan.

Perjalanan Menuju Kota Metropolitan

Pagi itu selesai kuliah tiba-tiba saya mendapat kabar dari koordinator yang memerintahkan saya meluncur ke Jakarta untuk mengurus kelengkapan administrasi perlombaan yang kami ikuti di pusat perbukuan Departemen Pendidikan Nasional (so keren banget deh... :D) enam bulan yang lalu. Saya sebagai perwakilan dari bahasa Perancis dan seorang temanku yang manis dari jurusan Bahasa Jepang, (terpaksa karena si koordinator sudah berada di Bangka selepas ujian Sidang, dan akan kembali ke Bandung minggu depan untuk wisuda). Setelah selesai kuliah itulah saya dan beberapa teman yang terlibat dalam pembuatan buku itu beramai-ramai melengkapi administrasi yang jadi persyaratan panitia lomba. Jam 1 tengah hari barulah selesai tuh, kami bertiga, saya, kak Iik dan Neng Melia (perwakilan satu-satunya dari Bahasa Jepang yang ikut) segera meluncur ke Stasiun Hall untuk mengejar kereta yang berangkat jam 2 siang nanti. Sebenarnya ada perasaan kuatir juga menjejaki Ibukota, secara dari jaman dahulu ka

Tak Pernah Berubah

Bingung, Satu kata yang membuatku lelah berpikir Ragu, satu rasa yang membuatku merasa lelah untuk merasa dan semua itu terjadi saat diriku berpikir tentang masa depan akan seperti apakah tentang tirai yang akan tersingkap? dan semua masih tanda tanya, tidak memberikan ruang untuk menjawab karena sekali lagi, hanya waktu yang bisa menjawabnya. tapi, bukankah kita masih bisa berjuang? tetap berusaha? Tahulah, bahwa aku tetap disini mengayuh diam dalam setiap gerak mengetalase mimpi dalam kerapihan menggantung asa dalam setiap detak jantung Ketahuilah... bahwa aku tak pernah berubah sejak saat itu tak pernah berpaling, meski tak acuh tak pernah reda, tak pernah surut Diriku masih berjalan di jalan yang sama meski kita tak bergandeng lagi berharap saat sampai nanti aku bisa menemukanmu ditempat yang kau janjikan

Mencinta

Cinta, apa yang ku ketahui dengan dari satu kata itu? Benarlah orang bilang, cinta tak pernah mampu dilukiskan kata-kata Sekalipun menenun jiwa dalam keindahannya Meskipun menyulam hati dengan pesonanya Bagai merpati yang mengepakan sayapnya di udara Layaknya mentari yang merona di romantisnya fajar Bahkan seperti senja yang meneduhkan Yang kutahu seperti itulah cinta yang terasa memabukkan Rindu menjadi magnet kebersamaan Menyeret langkah menuju sujud yang panjang Merayu diri bermesra dengan ayat-ayat cintaNya Lisan pun tak henti berucap asmaNya Duhai Yang Maha Mencinta Tak ada yang lebih indah selain mencintaMu Tak ada yang lebih syahdu selain menghabiskan malam denganMu Tak ada yang lebih membanggakan selain mengakui kekuatanMu Ah… Engkau telah membuatku tergila dengan cintaMu…

Khayalan Sejenak

Oleh: Fathia Mohaddisa Pagiku menjelang… Hentakan debar dalam hati mengejutkanku Serupa wajah hadir kembali dalam benakku Meski qalbu meronta untuk menolak Takut akan teguran Sang Pembolak-baliknya Saat tak mampu kebendung lagi kata-kata Pada secarik kertas ini kuungkapkan Meski ini bukan tempat semestinya Tapi tak ada media lain yang dapat kugunakan Melayang anganku akan suatu tempat Kutatap pemandangan dengan keelokannya Seorang gadis kecil berlari dengan tali-tali cantik di gaunnya Diiringi hempasan angin yang bertiup yang menyejukkan Sungguh semuanya nampak di dekatku Menyapaku di depan mata Saat tangan mengulur untuk menyambut Tersadar aku harus bersabar sejenak waktu Kebesaran dan keagungan yang hampir kurengkuh Masihlah sebentuk maya fatamorgana Mungkin semuanya akan  kudapat Atau bisa jadi fatamorgana itu menjadi keabadian Ku tersentak tatakala sebuah suara lembut mengingatkan “Dans cinq minute” atau “Lima menit lagi”

Cahaya lilin

Langit bermandikan cahaya bintang Bayangan yang mengaggumkanku Cahayanya diam dalam lelehan yang jelas Terluka dalam pengorbanannya Dalam reruntuhan lelehan cahayanya Kesilauan yang sangat dalam kegelapan malam Bertaburan di samudra Tentang diamnya setiap kali di kegelapan Cahaya yang sama Dalam kobarannya, mengekalkan sebuah bayangan Yang semakin memerah Kejujuran dalam malam yang pucat membatasi rasa ingin tahu Kepopuleran yang mendesah Persekongkolan yang tiada batas bahwa angin menginginkan segera berakhir Lilin-lilin biru itu yang menyinari di musim gugur Pada malam yang pucat Dan angin keras besar dan searah Dari cairan yang berwarna Cairan itu yang membentuk pulau dari lilin yang mengisnpirasi Dari keagungan matahari Yang bersinar aneh dalam pandanganmu pada pemandangan cahaya yang besar.. Oleh: Bernard de l'Ocean dengan judul asli "Soleils de Cire" Diterjemahkan oleh: Fathia Mohaddisa

Cacian? Ejekan? Siapa Takut !!!

Bismillah… Sahabat sudah berapa kalikah kita mendapat teguran secara halus maupun terang-terangan yang intinya “Kok akhlak gak sesuai dengan penampilan ya?”. Atau “Kok kelakuannya gak menggambarkan kostumnya sih.” dan macam-macam lainnya. Terus karena kita tidak terima dengan kritik itu muncullah pembelaan, “haduh please deh, don’t judge the book by the cover.” Atau “Lha kan namanya juga manusia, wajar kan buat salah. Namanya juga lagi berproses.” Terus setelah ngomong gitu nggak ada follow up dari kita, nggak ada usaha untuk memperbaikinya. Masih hanyut dan nyaman dengan kondisi seperti itu. Lantas waktu ada orang yang mengucapkan hal yang serupa maka muncul lagi pembelaan yang sama. Lho ?? terus dimana prosesnya dong  kalo gitu-gitu terus ?

KENANGAN TERAKHIR BERSAMAMU…

Perlahan Alifa membuka album foto saat liburan bersama dengan kakak-kakaknya. Di halaman pertama ditemuinya gambar seorang gadis kecil tersenyum ceria melenggokan kepalanya kearah kiri di belakangnya terhampar luas perkebunan teh yang begitu hijau menyejukkan mata siapapun yang melihatnya. Halaman berikutnya seorang pemuda dan dua orang pemudi berbaris di depan loket bergaya konyol. Sesekali dia tersenyum melihat gambar-gambar yang diam membisu itu, namun air matanya mengiringi mengubah senyuman itu menjadi senyum getir yang menyakitkan. Pikiran Alifa berlari pada dua belas tahun yang lalu. Gadis kecil itu adalah dirinya saat berusia lima tahun dan pemuda pemudi itu adalah kakak-kakaknya. “Hari ini kita akan wisata ke Sari Ater…!!!” teriak Faris girang diikuti oleh suara riuh senang tiga adik perempuannya yang lain, Sabrin, Nura dan adik kecilnya Alifa. Setelah menyiapkan segala sesuatunya mereka berempat pergi ke Sari Ater yang berjarak kurang lebih empat puluh lima kilometer

Hati

Hati masihkah engkau bertahta ditempat tertinggi diri ini? Saat akal menjadi penasehatmu dan nafsu sebagai hambamu Hati, Masihkah engkau seputih kapas yang bersih ? Ataukah telah berubah sehitam lumpur ? Hati, masihkah kau selembut salju dalam setiap bulirnya? Ataukah lebih keras daripada sepotong besi? Masihkah kau mampu menyapa saat aku berbelok dari jalanNya? Masihkah kau akan berteriak saat kaki ini melangkah menuju pengkhianatan padaNya? Masihkah kau mampu berdering membangunkan dari kelalaian? Masihkah kau berbisik menggiringku pada kebaikan? Hati saat kau berbisik aku meredammu Saat kau berbicara padaku, aku pun mengabaikanmu Bahkan saat kau berteriak memperingatkan, aku malah membungkammu Saat kau menyerah, aku semakin terlena Hati, benarkah kau telah mati dalam dada ini? Saat Dia menghidupkanmu kembali dengan cahayaNya Saat Dia menyembuhkanmu dengan rahmatNya Dan saat Dia menguatkanmu dengan kasih sayangNya Sesungguhnya itu adalah nikmat yang luar biasa

Sabana

Bismillah Sinar jingga kemerahan dari balik bukit itu beringsut naik semakin tinggi semakin memucat, sinarnya memancarkan kehangatan kepada makhluk-makhlukNya, pada pohon yang mulai menunaskan daun-daun baru, pada bunga yang mulai masih kuncup dan mulai merekah, kepada kupu-kupu yang baru bangun dari tidur panjangnya dalam kepompong. Mencairkan sisa-sisa salju di atas rumput dan pepohonan. Burung-burungpun berkicau dengan riangnya. "Selamat datang musim semi." desisku. Aku berdiri pada salah satu bukit diantara bukit-bukit lainnya yang berdiri anggun bagai gundukan-gundukan makam tanpa nisan. Sejauh mata memandang hanya terdapat hamparan rumput hijau bagai permadani yang cantik. Di barat sana kulihat gunung-gunung bediri angkuh dengan salju yang menyelimuti puncaknya. Kuda-kuda dan para biri-biri merumput sesuka hati mereka.

Yang Membuatku Kagum Padamu

Yang membuatku kagum padamu adalah... saat kau masih tetap berjuang meski fisikmu menuntutmu beristirahat lebih Yang membuatku kagum padamu adalah... Dalam kerasmu, kau masih menyempatkan membangun kembali kehangatan diantara kita seperti dulu... disaat jurang kedinginan mulai memisahkan kita Yang membuatku kagum padamu adalah... kau begitu setia menjaga setiap amanah menutup setiap keburukan orang-orang terdekatmu Yang membuatku kagum padamu adalah... kau masih mau peduli padaku, bersusah untukku disaat mereka setengah mengacuhkanku meski kadang tingkah dan ucap sering menggores luka Yang membuatku kagum padamu adalah... dalam keterbatasanmu, kau masih menyimpan cinta menyisihkan secuil yang kau miliki untukku

Thusday, I'll be a mother

wah ini judulnya provokatif banget ya?? emang :p.. tar dulu deh, gak ngerti nih kok bisa, beneran hari kamis nanti bakal jadi ibu?maksudnya? emang hari kamis ia mau ngelahirin ya? kapan nikahnya? kapan hamilnya? kok tiba-tiba udah lahiran gitu aja? waduh, bukan gitu kali sob, eh... ato mau adopsi anak?? haduh apalagi itu, gak kepikiran deh... terus apa dong ia?? Gini fren, hari kamis entar saya dapat amanah buat jagain anak perempuan umur satu tahun. yah... katanya sih ibunya yang masih kakak sendiri itu bakalan sibuk dikantornya karna akhir bulan. masih keponakan dong ia?? ya gitu deh... sebenarnya ini bukan pertama kalinya saya jagain anak kecil, beberapa bulan yang lalu... berapa bulan ya?? lupa lagi, saya pernah di titipin bayi umur 10 bulan, sama kakak saya. "Titip ya dek, teteh mau pulang dulu." wedew nih si sistah seenaknya aja main nitip2, anak lagi -,-" yah sudahlah, mau tak mau ya harus mau >,< lagian kan ada ibu, dan dua kakak lain y

Cerita dari Negeri Dongeng

Di Negeri Antah Berantah, rakyatnya  yang berjenis kelamin berbeda hidup terpisah oleh aliran sungai dimana daratan putra tinggal di sebelah kiri aliran sungai sedangkan daratan putri tinggal di daratan sebelah kanan. Keduanya tak bisa bersama, apabila ingin bersama maka mereka harus mempunyai kapal berSNI atau berlabel halal “MUI” (lho????). Sudah merupakan suatu ketentuan bahwa rakyat negeri itu baik putra maupun putri tidak boleh mendekati aliran sungai itu. Sebagian orang sangat patuh, sebagian lagi meski mereka hati-hati tapi tidak terlalu mentakuti larangan itu. Sungai itu bukanlah sungai berpenyakit. Airnya sejuk, melegakan jika diminum, dapat menyebabkan ketagihan, dan terdapat taman bunga cantik disepanjang tepian sungai, tapi beberapa mil dari tempat itu terdapat aliran yang sangat deras, hingga siapapun yang melewatinya tanpa kapal yang kuat akan binasa, tetapi mereka yang melewatinya dengan kapal akan nyaman dan selamat diperjalanan. Itulah alasan kenapa ad

Kabut Masih Menggantung

Malam masih belum larut saat aku duduk dibalkon belakang gedung ini. Tempat asing yang kini aku tinggali untuk beberapa hari kedepan. Dari sini gemerlap lampu kota Bandung berpendar menghiburku Ah… lagi-lagi tentang fajar, senja, dan kini malam yang membuatku terpaut dan tak berhenti untuk mengagguminya. Sederetan momen itu selalu bercerita panjang padaku akan kehidupan ini… Ya… senja telah berlalu beberapa jam lalu, malam langsung menyambut, dan sebentar lagi fajar akan menjemput… Sesekali ku tebarkan pandanganku ke sekeliling, jeda beberapa saat dari depan monitor. “Cantik” gumamku. Bagaimana tidak sekelilingku adalah pegunungan yang dihiasi kerlap-kerlip lampu bagai kunang-kunang yang menari-nari. Ah… ternyata semua itu membuka kembali memori lima tahun yang telah lama tersimpan rapat dalam kebingungan. Entah sampai kapan aku harus bertanya, entah sampai kapan tanda tanya itu akan terjawab. Semua cerita tentang gunung, bukit, kabut, dan tanah gersang yang selalu dibersih

Gadis Kecil di Pundak Sang Ayah

Suatu ketika aku membaca sebuah artikel tentang seorang ayah yang membawa putrinya pada bahunya tak lebih seperti membawa karung beras. Saat itu aku berpikir bahwa hal semacam itu hanya ada pada novel-novel klasik Indonesia. Akan tetapi asumsiku berubah saat, aku melihat hal mengejutkan dengan mata kepalaku sendiri. dan kunyatakan itu bukan Fiksi!!! Siang itu mentari bersinar cukup terik. Aku tengah menikmati biografi orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan kurang atau bahkan bisa dikatakan tidak sukses, tapi mereka mampu menunjukan kesuksesan pada karirnya, yang tersaji dalam sebuah buku motivasi karya pak Isa Alamsyah di sebuah angkot yang melaju menuju kampusku tercinta. Emosiku tengah larut dengan bahan bacaan ketika tiba-tiba tubuhku terhempas akibat pak supir menginjak rem mendadak dan seorang penumpang lain memaki sikap ceroboh supir angkot yang menerobos lampu merah hampir menabrak pengendara motor.

Sepasang Merpati

Terik mentari menambah panas otakku. Bagaimana tidak, aku sudah sangat telat untuk memenuhi janjiku pada kawanku yang telah menunggu lama untuk pergi ke suatu daerah bersama. Sedangkan angkot yang aku tumpangi yang biasa lewat fly over sekarang lewat bawah yang padat kendaraan dan membuat kendaraan terjebak macet. “Bisa sampe jam berapa aku sampai disana” keluhku. hufft tak tega rasanya membayangkan wajah temanku yang membatalkan seminar agar bisa berangkat pagi bersamaku, namun ujung-ujungnya kami tetap akan berangkat tengah hari. Aku menyeka peluh di keningku, menarik nafas, mencoba menurunkan emosiku yang sudah meluap-luap. Meredakan kekesalan ini sambil menatap ke sekeliling jalan berharap jalanan lengang dan angkutan umum yang aku tumpangi bisa melenggang sempurna. Sia-sia! jalanan masih padat dan angkot yang aku tumpangi masih berjalan merayap seperti kura-kura yang kekenyangan. Emosiku mereda saat kulihat seorang pedagang menjajakan barang dagangannya di trotoar, m

Mentari di Langit Desember

Mentari enggan muncul di langit desember. Angkasa tampak murung melukiskan kelabu. Butiran dingin selembut kapas turun melimpah ke bumi. Udara berhembus beku menusuk kulit. Musim dingin datang membawa sejuta mimpi, merangkai harapan, menoreh kerinduan yang menghujan dalam dada. Semangat berkobar hangat untuk merengkuhnya Di belahan bumi yang lain, suhu tak sebeku dan sedingin disini. Matahari mulai merona di ufuk timur. Tak ada salju yang datang mengiringi, hanya ada tetesan gerimis lembut yang menyentuh dedaunan. Namun mimpi, harapan dan semangat tak pernah berbeda. Ah lupakan…!!! semua terjadi lima tahun silam, semua mimpi dan harapan sebagian telah terwujud jadi nyata, sebagian lagi masih terukir dalam dada, entah kapan akan terwujud, tapi doa, ikhtiar dan tawakal juga tak boleh berhenti. Juni, musim semi hampir berakhir. Musim panas hendak menyapa. Harapan kecil masih tergenggam dalam jemari rapuh. Tiga bulan silam, pada awal musim semi suatu janji telah terucap.

Adikku yang Manis, Kaulah yang Terbaik

Sesekali tawa renyahnya menghangatkan rumah, memelukku, dan mencium pipiku. Di lain waktu wajahnya terlihat muram, pandangannya kosong menatapku dengan sinis, tak jarang air matanya meleleh sambil memakiku. Tak mau menjawab pertanyaanku apalagi menyapaku. Aku tak mengerti dengan perubahan yang terjadi pada adikku, Hafsa. Empat bulan setelah tinggal kembali di rumah, dia berubah. Enam tahun yang lalu sebelum aku memutuskan untuk menuntut ilmu di Pondok Pesantren putri di Jawa timur, adikku tidak seperti ini, keceriaannya tak pernah pudar meskipun ia disakiti kawannya. Ada apa gerangan dengan adikku yang manis ini? Abi dan ummi justru bersikap seolah tidak terjadi apapun padannya. Padahal aku sungguh merasakan perubahan total itu. “Hafsa baik-baik saja, dia masih putri kecilku yang ceria.” Hanya itu respon Abi. Aku pun tak mengerti dengan abi dan ummi, tidakkah mereka menyadarinya. Aku mencoba menanyakan langsung padanya, yang terjadi emosinya semakin meluap, sampai

Surat Cinta untuk Allah

Bismillah… Kepada: Allah yang tak pernah habis lautan cintaNya. Rabb… aku malu walau hanya meminta setetes cintaMu yang mampu menyejukkanku Karena, tanpa aku meminta Kau telah memberiku lautan cinta dan nikmat yang tak pernah surut… Rabb, Kau tau apa yang terjadi dalam hati ini dan hatinya. Jika Engkau mengkhendaki kami, niscaya itu akan menjadi kebahagiaan bagi kami. Namun seberapa lama kebahagiaan itu akan bertahan ? seberapa banyak kami akan bisa bersyukur atas kebersamaan ini ? sampai usia kami tertutup? Atau hanya saat itu, saat ambisi telah direngkuh ? ambisi yang telah membuat kami melupakan cinta pada Rabbnya. Cinta yang selama ini dirasakan, diimpikan dan dirindukan terkikis oleh waktu yang menghilangkan pesona keindahan dzahir. Lantas semuanya akan berlalu begitu saja ? Jika Engkau tak menyatukan kami, dan mempertemukan kami dengan pasangan lain. Rabb, tentulah akan ada dua orang lain yang terluka karena perbuatan kami ini. Mampukah aku men

Biarkan Luka ini Hanyut dalam Deras Hujan (edisi revisi)

(Salah satu cerpen dalam Antalogi Cerpen Hujan) Dalam curahan air hujan aku melangkahkan kakiku perlahan, tak sedikitpun ingin mempercepat langkahku ataupun berniat berteduh di emper toko. Meski hujan itu tak bisa dikatakan gerimis lagi. Deras! Ku biarkan tubuhku basah kuyup dalam balutan jaket tebal yang memang telah aku pakai sebelum hujan turun membanjiri bumi. Hujan, biarlah engkau membasuh diriku, membasuh luka yang tersimpan dalam hati ini. Biarkan ia larut bersamamu, pergi dalam aliran air deras yang terus mengalir. Tak ada seorang pun yang dapat membedakan mana hujan yang tumpah dari mataku dan hujan yang tumpah dari langit. Hujan, dulu aku sangat menyukai kehadiranmu tapi sejak saat itu kehadiranmu bagaikan belati yang menyayat hatiku dan menggoreskan luka yang semakin mendalam. Karena... karena kau selalu mengingatkan aku pada pesannya, larangannya, perhatiannya yang kini harus ku usir dan ia pergi entah kemana. Entah ia hanya berlari ke arah yang tak me

Cara Dia Mendukungmu

Mungkin yang kau rasakan, hanyalah kedinginan, disaat semua orang berkata-kata mendukung dan mendo’akanmu. karna kau tak perlu tahu, bahwa ditempat lain, di sudut kota yang lain ada seorang wanita yang berharap dengan penuh pengharapan, membasahi mukenanya dengan tetesan air matanya dalam setiap sujudnya. menanti untuk mendengar kabar darimu. Ada kecemasan dalam setiap gerak matanya. Tak mampu terpejam saat gelisah, hanya karena takut butiran bening akan meluncur disudut matanya. Ada sayatan luka dihatinya saat dia tahu kau mendapat hambatan, Ada perih yang mendalam saat kau hampir menyerah. Penuh tanya yang terlintas dibenaknya, tapi dia hanya menyimpan rapat segala tanya itu di hatinya. Itulah cara dia mendukung perjuanganmu. Itulah cara dia mencintaimu. Karna kamu tak perlu tahu, karna dia tak ingin kau merasakan keresahannya, karna dia hanya ingin kau tetap fokus dalam perjuanganmu… Karna dia hanya ingin melihatmu meraih kesuksesan itu, Meski dari jauh… Berharap me

Bidadari Berwajah Pucat

“Akh… hari minggu ada agenda nggak?” Tanya Faruq dari seberang telepon. “Hm…” aku berpikir sejenak. “Sepertinya kosong. Ada apa?” aku balik bertanya. “Bisa ikut dengan saya dan Bani? Kita diundang syukuran. Salah satu sahabat kita hendak di khitbah lho. Hmm… yang bersangkutan sih tidak mengundang langsung, tapi lewat ukhti Dewi.” Jelas Faruq panjang lebar. “Wah… Alhamdulillah, akhirnya diantara kita satu persatu menemukan pelabuhan cintanya.” Aku menarik nafas lega, sahabat-sahabatku telah hendak bertemu jodohnya. Aku? Kapan kiranya aku berani mengungkapkan perasaan ini pada sang pujaan hati? Seorang akhwat yang diam-diam aku kagumi sejak pertamakali bertemu di sebuah organisasi, yang saat itu kami dalam satu divisi dan beliau adalah bawahan saya. Gadis sederhana berwajah pucat tapi tidak nampak letih, justru terlihat sangat energik. Tak pernah banyak bicara ketika koodinasi. Ah… kapan keberanian itu datang? Apakah karna aku belum begitu siap secara ilmu dan mental untuk

Saling Melengkapi, Saling Mendukung, Saling Mengiringi

Fajar dan Senja itu sama hanya waktu yang membedakan kita menyaksikannya Mentari dan bulan memang satu, tapi kita melihatnya dari belahan bumi yang berbeda Semua tercipta berpasangan… berlawanan… tapi tidak untuk saling melawan tidak untuk saling menantang dan tidak untuk saling membanggakan Mereka tercipta untuk saling melengkapi mereka tercipta untuk saling mendampingi Fajar dan Senja memang tak beriringan, tetapi ada mentari yang menjadi perantara Mentari dan bulan tak hadir bersama tapi ada bumi diantara keduanya hingga kita masih dapat melihat bumiNya Siang dan malam memang tak sama tapi ada waktu yang menjadi penyambung Hujan dan mentari mungkin hadir bersama namun ada pelangi yang mengiringi Tak ada yang merasa unggul tak ada yang merasa lebih baik semua saling melengkapi semua saling mendukung