Skip to main content

Bagilah Bebanmu Denganku

Mataku masih enggan berpaling, lewat jendela kamar ku pandangi mentari yang mulai turun di ufuk barat. Lembayung senja mula merekah mengiringi kepergian mentari yang tampak lelah setelah bersinar seharian. Tapi tidak denganku, aku masih belum lelah, aku masih kuat untuk menampung bebanmu. Aku terlalu segar untuk pergi istirahat tanpa mendengar keluhmu dulu, tanpa memberimu bahu untuk membagi beban denganku. Bukankah kau pilih aku karena kau percaya padaku untuk mengatasi setiap permasalahan yang kita hadapi bersama-sama? Lantas kenapa kau masih diam membisu di sudut ruang kerjamu dengan kiloan beban yang memenuhi hati dan pikiranmu. Apakah kau tak percaya padaku? atau apakah kau tak mencintaiku lagi? Apa kau lelah mencintaiku?
Matahari benar-benar telah tenggelam, seperti engkau yang tenggelam dalam duka dan bebanmu yang berkepanjangan. Adzan maghrib berkumandang bersahut-sahutan mulai dari Masjid Raya hingga mushola kecil di sudut komplek perumahan. Kau keluar dari ruang kerjamu dengan menekuk wajahmu. Tampaknya kau telah siap untuk mendirikan sholat maghrib berjamaah di Masjid samping rumah kecil yang kita diami sejak awal pernikahan. Aku bersyukur engkau masih sudi melirikku saat melintas dihadapanku, meski tak ada sepatah katapun yang kau ucapkan padaku. Bagiku itu sudah lebih cukup untuk sekedar mengusir prasangka burukku bahwa kau telah mengabaikanku.

Malam semakin larut, udara membeku seperti wajahmu yang selalu beku beberapa hari ini tanpa senyuman. Adakah engkau lupa untuk tersenyum wahai belahan hatiku?
Aku tak mau semua ini berkepanjangan, aku ingin kau membagi bebanmu denganku meski mungkin aku tak bisa membantumu, namun izinkan aku mendengar keluh kesahmu, seperti dulu saat awal pernikahan kita.
Ketika aku menghampirimu di ruang kerjamu, kutemukan kau duduk dibalik laptopmu yang menampilkan microsoft word yang masih kosong tanpa satu huruf pun.
"Masihkah kau tak ingin bercerita padaku, wahai kanda?" Aku masih mencoba merayumu. Dia menoleh ke arahku, tersenyum dan mengelus pipiku kemudian kembali memelototi laptop. Mungkin aku belum berhasil, tapi setidaknya kau bersedia untuk memberikan senyuman padaku.
Tapi aku tak bisa terus begini, aku ingin kau bercerita apa yang terjadi padamu hingga kau menjadi manusia beku seperti ini. Aku tak bisa terus begini, menunggumu tanpa kata-kata. Aku melipat laptopmu, tampak kau sangat terkejut, mungkin kau berpikir setelah kau memberiku senyuman aku akan segera meninggalkanmu dan membiarkanmu sendiri lagi. Itu tidak mungkin, aku tidak mungkin membiarkanmu terus begini. Aku terluka melihatmu seperti ini. Aku terluka melihatmu seperti mayat hidup tanpa ruh.
"Kau tahu, aku mungkin bisa mengabaikanmu dengan maumu, tapi itu berarti aku telah melukai diriku sendiri, karena aku tak sanggup untuk melakukan itu padamu." Suaraku pecah.
"Tidakkah kau percaya lagi padaku?" tanyaku, kini tangisku mulai pecah. "Apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi?"
"Tidak bukan begitu, maafkan aku sungguh, aku tak ingin membuatmu terluka, apalagi menangis seperti ini." Akhirnya kau mau berbicara padaku.
"Tapi kau telah mengabaikanku dari hari ke hari, tidakkah kau berpikir bahwa aku khawatir melihatmu seperti ini?"
"Maafkan aku..." Ucapnya.
"Jadi, maukah kau membagi bebanmu denganku seperti aku yang tak pernah sungkan berkeluh padamu?"
Kau kini kembali diam sejenak, kemudian berkata "Aku hanya tak ingin menambah beban pikiranmu. Ku ingin selalu bantu masalahmu, tapi biarkan aku sendiri yang menyelesaikan masalahku."
Kau curang!! Lantas kini kita berdua hanya diam membisu, kau menatap mataku yang telah berkaca-kaca, seribu kata maaf kutemukan dalam tatapan matamu dibalik kacamata minusmu.

*Terinspirasi dari kutipan Salim A. Fillah dalam bukunya "Bahagianya Merayakan Cinta" bahwa cinta seorang suami itu seperti gelang karet, yang kadang melebar atau melemah dan kadang menguat. Sedangkan cinta seorang istri itu seperti gelombang yang naik turun, ketika dia merasakan cinta suaminya yang begitu kuat dia akan mencintai suaminya dengan kuat pula dan sebaliknya ketika suaminya nampak mangabaikannya maka cintanya akan melemah. Akan tetapi bukan berarti seorang suami cintanya melemah sungguhan, dia hanya butuh ruang sendiri untuk merenung, menyelesaikan masalah sendiri tanpa ikut campur dari pihak lain termasuk istrinya, maka setelah itu dia akan kembali menunjukkan cintanya pada istrinya.
Allahu'alam...

Comments