Skip to main content

Bidadari Berwajah Pucat

“Akh… hari minggu ada agenda nggak?” Tanya Faruq dari seberang telepon.
“Hm…” aku berpikir sejenak. “Sepertinya kosong. Ada apa?” aku balik bertanya.
“Bisa ikut dengan saya dan Bani? Kita diundang syukuran. Salah satu sahabat kita hendak di khitbah lho. Hmm… yang bersangkutan sih tidak mengundang langsung, tapi lewat ukhti Dewi.” Jelas Faruq panjang lebar.
“Wah… Alhamdulillah, akhirnya diantara kita satu persatu menemukan pelabuhan cintanya.” Aku menarik nafas lega, sahabat-sahabatku telah hendak bertemu jodohnya. Aku? Kapan kiranya aku berani mengungkapkan perasaan ini pada sang pujaan hati? Seorang akhwat yang diam-diam aku kagumi sejak pertamakali bertemu di sebuah organisasi, yang saat itu kami dalam satu divisi dan beliau adalah bawahan saya. Gadis sederhana berwajah pucat tapi tidak nampak letih, justru terlihat sangat energik. Tak pernah banyak bicara ketika koodinasi. Ah… kapan keberanian itu datang? Apakah karna aku belum begitu siap secara ilmu dan mental untuk berlayar bersama dalam samudra pernikahan?
“Halo… halo… Aysel??” Faruq memanggil-manggil disebrang sana membuyarkan lamunanku.
“Oh iya… ya.” Jawabku gugup.
“Jadi gimana, antum bisa datang nanti hari minggu?? Ya… kita juga disana bantu-bantulah tidak hanya sekedar datang.” Ujar Faruq lagi.
“Oh iya, emang siapa yang hendak di Khitbah akh?” tanyaku dengan wajah berseri. Ukhti Dewi sepertinya tidak mungkin, tadi kan Faruq bilang beliau yang mengundang bukan yang bersangkutan, aku mencoba menebak-nebak. Ukhti Sarah kah? Ukhti Lulu kah? Atau… hmm… sepertinya ukhti Maryam yang sudah paling siap, ujarku dalam hati.
“Hmm… Ukhti Fathia…” Ujar Faruq pelan, suaranya seperti tercekat. Aku menelan ludahku. Jantungku berdegup kencang, dadaku sesak, mataku memanas. Akhwat berwajah pucat itu. Dia yang akan dilamar? Susah payah aku menjaga perasaan ini selama tiga tahun, agar tidak mengacaukan hatinya. Kini seorang ikhwan datang hendak melamarnya. Ini memang salahku, kenapa aku tak segera meminta pada murabiyahnya? Atau datang langsung pada orangtuanya, ah… apa sih yang aku tunggu selama ini. Aku mulai menyalahkan diriku sendiri. Aku benar-benar kecewa pada diri ini. Rabb… mungkin dia tercipta bukan untukku. Aku menghela nafas. Aku mencoba berpikir positif. Yah, aku akan mendapatkan pendamping yang lebih baik darinya, pikirku.
Hari yang dinanti tiba, ya bukan olehku tapi oleh gadis itu dan sang pelamar tentunya. Aku tetap harus belajar berjiwa besar menerima ini semua. Bagaimanapun juga Allah punya rencanaNya sendiri dan aku yakin rencananya pastilah indah. Meski dada ini sesak, aku berusaha untuk tetap tersenyum. Rasanya tak ada guna juga untuk terus menyesali ini dan berkubang dalam kesedihan. Ah ya Rabb, cintaku padaMu ternyata begitu lemahnya hingga tak mampu menghapus sesal yang masih bergejolak ini.
Aku, Faruq dan Bani sudah berada dirumah ukhti Fathia. Sehari sebelumnya, Ukhti Dewi, Maryam dan Sarah sudah datang mendahului. Rumah sederhana itu telah dihias dengan indahnya. Untuk sebuah acara pinangan saja telah begitu mewahnya apalagi saat acara walimah nanti. Pastilah calon ukhti Fathia bukan orang sembarangan. Itu juga bisa terlihat dari beberapa orang ustadz yang turut mengantar ikhwan itu. Ah… bila dibandingkan denganku, siapalah diriku ini ? ukhti Fathia memang pantas mendapatkan yang lebih baik dariku. Semoga beliau bisa bahagia dengan suaminya kelak. Aku hanya mengharapkan yang terbaik untuk keduanya. Melihatnya bahagia sudah cukup bagiku. Kini aku paham arti cinta yang tak harus memiliki. Rabb… cukupkanlah hatiku dengan cinta padaMu, agar aku kelak bisa mencintai pendamping yang Kau hadiahkan padaku karena cinta padaMu. Aku menghela nafas, berharap udara yang masuk bisa sedikit melegakan dada yang sesak ini.
Aku memilih duduk di teras sendiri. Sengaja tidak turut serta menyaksikan acara yang telah dimulai didalam ruangan. Sayup-sayup kudengar suara sambutan dari pihak ikhwan dan akhwat silih berganti.
Terlambat… terlambat…
Kata-kata itu terus terlintas dibenakku. Rabb… aku berlindung dari godaan syetan, desisku. Berilah keridhaan dihatiku atas kehendakMu dan berikan aku kebaikan dimanapun aku berada.
“Aysel…” seseorang menepuk punggungku. Aku segera menoleh. Rupanya Faruq telah berdiri dibelakangku.
“Lho kok malah keluar akh?” tanyaku.
“Lha? Antum sendiri kok ada diluar?” Faruq balik bertanya. Aku mencoba tersenyum.
“Ana…”
“Antum tidak perlu menjawab akh, saya sudah tahu semua.” Faruq memotong pembicaraanku. Aku kembali tersenyum.
“Maksud antum?” aku balik bertanya. Faruq tersenyum, lalu dia duduk disampingku.
“Akh… seandainya antum mau jujur saat ana bertanya tentang perasaan antum pada Fathia. Mungkin semuanya tidak seperti ini.”
“Ssssttt… Islam melarang keras berandai-andai akh… ini jalan yang terbaik insya Allah.”
“Astagfirullah…” ucap Faruq tampaknya dia sangat menyesal dengan ucapannya tadi. “Masalahnya…” Faruq menghentikan kata-katanya, lehernya seperti tercekat tak mampu melanjutkan kata-katanya. Faruq menunduk penuh penyesalan.
“Bagaimanapun juga Fathia itu seperti adik ana sendiri akh… saya kenal dia dengan baik.” Lanjutnya.
“Astagfirullah…” tiba-tiba Bani telah berada dibelakang kami berdua. Wajahnya terlihat panik. Sesekali dia mengelus dadanya. Kadang senyumnya mengembang, kadang menghilang.
“Ada apa akh?” tanyaku heran. Faruq masih terdiam dan tenggelam dalam penyesalannya.
“Fathia menolak lamaran ikhwan itu.” Ujar Bani datar.
“Astagfirullah…” aku melonjak dari tempat dudukku.
Faruq yang sedari tadi menunduk segera menolehkan wajahnya dan menatap wajah Bani lekat-lekat. “Antum yakin akh? Tidak salah dengar?”
Bani menggelengkan kepalanya. “Wallahi, ana tidak salah dengar.”
Tanpa pikir panjang, aku segera berlari menuju ruang tamu untuk mencari kebenaran berita itu. Namun sesampainya disana aku tak berani untuk masuk. Aku lebih memilih menyaksikan itu dari balik kaca jendela. Aku menyapu seisi ruangan. Semua orang diruangan itu tampak tegang dan terlihat masih terkejut. Sedangkan gadis berwajah pucat itu tampak anggun dengan balutan gamis merah marunnya. Dia duduk diantara ayah dan ibunya. Matanya menunduk menatap karpet, tak berani menatap para tamu. Dengan terbata-bata dia mulai berbicara.
“Ayah… maafkan saya. Saya tidak tahu hal ini akan terjadi. Seandainya ayah menyampaikan sejak awal, saya pun akan menyampaikan saat itu juga. Bukan sekarang dan mengejutkan semua yang hadir disini. Saya sendiri masih terkejut dengan pinangan ini. Ayah izinkan saya menikah dengan ikhwan pilihan hati saya.”
Ikhwan yang hendak melamar itu tampak tenang dan berbesar hati menerima keputusan gadis itu. Lantas aku memasuki ruangan yang penuh sesak dengan tamu itu. Secepat kilat Fathia segera menengadahkan wajahnya. Wajah pucatnya kini berurai air mata. Dengan tersedu-sedu dia tersenyum saat melihat kedatanganku.
Allah terimakasih atas kesempatan kedua ini… Semoga aku tidak akan menyia-nyiakannya lagi. Percayalah, Rezeki itu takkan tertukar, akan tetapi sebuah kewajiban kita, siapa lagi yang akan melakukannya kalo bukan kita? Ibadah dan memperbaiki diri adalah kewajiban kita. Maka penuhilah kewajibanmu maka Allah akan memberikan hakmu. Meski terkadang kita belum memenuhi kewajiban kita, tapi karena cintaNya, Dia tidak pernah menunda kebutuhanmu.



Comments