Skip to main content

Mimpi

Desember 2006

"Bermimpi?" tatapnya heran. Kedua bola matanya yang bulat melotot memandangku. Aku mengangguk yakin.
"Kamu yakin?" tanyanya lagi. Aku kembali mengangguk. "Ada yang salah?" aku balik bertanya.
"Tidak! aku hanya takut jatuh setelah aku menggantungkan harapan yang tinggi." Nada suaranya melemah.
"Takut?" aku malah balik bertanya. Dia mengangguk. "Pernah kecewa?"
Dia mengangguk cepat. " Pernah dan rasanya sakit sekali."
"Setelah itu?" aku mencecar pertanyaan.
"Seiring berjalannya waktu aku lupa dan aku tak mau lagi kecewa."
"Sudah hilang kan? dan kau bisa melupakannya lagi."
Kali ini dia mengangguk ragu. "Kau, apa kau tak takut untuk bermimpi?" tanya dia padaku
Aku menggeleng. "Tidak! Bermimpi itu gratis bukan?"
"Maksudku, kau tidak takut kecewa?" tanyanya, matanya menatapku penuh tanya.
"Kecewa? aku lebih takut kecewa di masa yang akan datang. Kecewa pada diriku karena aku takut bermimpi dan mencoba. Karena aku telah menghabiskan masa mudaku menjadi seorang pengecut!" Ucapku mantap.



Januari 2007
"Apa mimpimu?" tanyanya mengejutkanku.
"Sederhana." Ujarku.
Dia mendekatiku, "Apa itu?"
"Menjadi wanita yang shalehah dan cerdas, serta bisa berkontribusi untuk umat." Jawabku sederhana.
"Apa yang kau lakukan untuk itu?" Dia masih menatapku
"Mempersiapkan diriku sebaik mungkin." Aku balas menatapnya.
"Apa yang ingin kau lakukan?"
"Menuntut ilmu, dan ingin ku curi banyak ilmu yang bertebaran di Eropa."
"Apa kau tak ingin ke timur tengah?" kini giliran dia mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaannya.
"Aku ingin. tapi terlebih dahulu ingin ku jejaki Eropa." Jawabku pendek.
"Kenapa kau lebih memilih Eropa dibanding tempat lain?" tampaknya dia sangat penasaran dengan mimpi yang telah aku ukir. Aku menebarkan pandanganku mencoba berpikir.
"Entahlah... aku merasa aku akan menemukan banyak cerita disana."
"Apa kau tidak takut? kau tahu Eropa kurang bersahabat dengan muslim?"
"Kenapa mesti takut? bukankah bumi ini milik Allah? Indonesia, Asia, Eropa semuanya. Aku yakin dimanapun aku berada, Dia akan memjagaku."
"Ah... tapi kau tahu banyak mereka disakiti disana."
Aku tersenyum sebelum menjawab pertanyaannya.
"Allah sedang mengujinya untuk meningkatkan keimanannya."bisikku. "Jika aku mampu, aku mungkin akan mendapatkannya juga, jika tidak. Allah takkan mengujiku seperti itu."
Dia tersenyum ragu padaku. "Aku ingin ke Eropa." bisiknya padaku. "Aku ingin menjejaki kota Manchester."
Aku tersenyum sumringah. "Apa yang akan kau lakukan agar mimpimu tercapai?" tanyaku penuh antusias. "Aku akan melanjutkan pendidikanku sepertimu. Aku akan berusaha bekerja, aku akan menabung, aku akan menyusulmu ke tempat itu."
Aku tersenyum, butiran bening menghalangi pandanganku hingga aku tak mampu melihat wajah optimisnya.


September, 2007
"Kau pergi sekarang?" tanyanya. Aku mengangguk. Rasa senang kini menyelimuti hatiku, selangkah demi selangkah aku lewati membawaku semakin dekat dengan mimpiku. Namun, aku tak mampu menipu diriku, bahwa aku sedih harus berpisah dengannya yang selama ini setia mendengarkan ocehanku, ocehan akan mimpi-mimpi yang ku rajut.
Aku memeluknya erat. "Susul aku... susul aku... aku menantimu disana." bisikku dalam tangisku.
"Iya... doakan aku." jawabnya. "Jagalah dirimu, kota itu tak seramah disini."
Aku mengangguk cepat. "Insya Allah, aku yakin aku akan baik-baik saja. Eropa lebih kejam daripada kota itu."
Dia melepaskan pelukanku. "Pergilah..."

Setahun kemudian. Desember 2008
"Kau sudah siap menyusulku?" tanyaku.
"Kawan... sepertinya aku akan memulai jejakku dari sini." Jawabnya.
Aku mengernyitkan dahiku. Bertanda aku tidak mengerti.
"Untuk mengejar mimpi, kita tidak harus menapaki dijalan yang sama bukan?"
"Tapi..." bantahku...
"Tunggu aku di Eropa..." ucapnya halus.

November 2010
"Aku sudah menemukan jalanku..." ujarnya riang. "Aku tak tahu lagi kapan mungkin bisa ke Eropa. Tapi aku punya mimpi lain yang tak kalah besar dari sekedar keinginan menjejaki kota Manchester." Lanjutnya.
Aku masih menatapnya heran. Kedua bola mata itu tampak bersinar-sinar.
"Terimakasih telah mengajarku bermimpi..."
Aku masih menatapnya, senyum riangnya masih tak luntur dari bibirnya.
"Masihkah kita bisa bertemu di Eropa?" tanyaku pelan. "Ku harap aku bisa menemukan disana..." lanjutku pelan. Pelan sekali, hingga mungkin dia tak pernah mendengar suaraku...







Comments