Skip to main content

KENANGAN TERAKHIR BERSAMAMU…

Perlahan Alifa membuka album foto saat liburan bersama dengan kakak-kakaknya. Di halaman pertama ditemuinya gambar seorang gadis kecil tersenyum ceria melenggokan kepalanya kearah kiri di belakangnya terhampar luas perkebunan teh yang begitu hijau menyejukkan mata siapapun yang melihatnya. Halaman berikutnya seorang pemuda dan dua orang pemudi berbaris di depan loket bergaya konyol. Sesekali dia tersenyum melihat gambar-gambar yang diam membisu itu, namun air matanya mengiringi mengubah senyuman itu menjadi senyum getir yang menyakitkan.
Pikiran Alifa berlari pada dua belas tahun yang lalu. Gadis kecil itu adalah dirinya saat berusia lima tahun dan pemuda pemudi itu adalah kakak-kakaknya.
“Hari ini kita akan wisata ke Sari Ater…!!!” teriak Faris girang diikuti oleh suara riuh senang tiga adik perempuannya yang lain, Sabrin, Nura dan adik kecilnya Alifa. Setelah menyiapkan segala sesuatunya mereka berempat pergi ke Sari Ater yang berjarak kurang lebih empat puluh lima kilometer dari rumah mereka setelah meminta izin dari kedua orangtuanya.
Perjalanan itu membuat Alifa kelelahan. Mungkin perjalan itu tidak sebegitu jauhnya bagi orang lain tapi bagi Alifa perjalanan itu sangatlah jauh. Tubuh kecilnya begitu lemah. Faris dan kedua kakak merasa khawatir dengan keadaan adik bungsunya itu. Berniat ingin mengajaknya bersenang-senang, akan tetapi justru membuat fisiknya menderita.
“Ayo adek naik ke punggung Mas.” Seru Faris. Faris menarik tangan Alifa, dalam hitungan detik Alifa telah berada dalam gendongan Faris. “Kasihan sekali adek Mas ini. Ayo semangat dek! Kita kan mau senang-senang disini.” Celoteh Faris sambil membayar ongkos angkot mereka berempat.
“Iya dek…” Nura mengamini kata-kata kakaknya.
“Lihat dek…” seru Sabrin menunjuk bukit-bukit dengan pohon-pohon kerdil teh yang menyelimutinya. Seruan semangat dari saudari-saudarinya belum membangkitkan semangat Alifa. Tubuhnya masih terkulai lemas di punggung Faris. Namun mata hitamnya bergerak cepat menikmati keindahan alam, kesempurnaan penciptaanNya.
Mereka berempat memasuki kawasan wisata itu. Rupanya banyak orang telah memadati tempat itu, mulai dari wisatawan lokal, wisatawan asing, hingga pedagang tetap dan pedagangan asongan yang hilir mudik menjajakan dagangannya. Tempat pertama mereka sambangi adalah sungai air panas. Faris menurunkan Alifa yang tampaknya sudah lebih baik, mereka berempat bermain-main disana. “Mas Faris jangan naik kesitu! Nanti jatoh lho…” teriak Alifa mengingatkan saat Faris mendaki tebing bebatuan yang dialiri air panas dari belerang itu.
“Nggak apa-apa dek…” ujar Sabrin sambil mengambil foto Faris yang bergaya diatas tebing itu.
Setelah merasa puas mereka pun beralih tempat. Mengunjungi tempat-tempat menarik di area wisata itu. Hingga akhirnya sampailah mereka di lapangan berkuda.
“Adek ingin naik kuda?” Tanya Faris.
“Nggak usahlah Mas. Sewanya mahal!” cegah Nura. “Mending buat nambahin ongkos mas pulang ke Jakarta.”
“Nggak apa-apa dek, lagian mas baru dapat rezeki lebih.” Ujar Faris sambil tersenyum pada adiknya itu.
“Kan bisa mas pake buat nambah bayar kuliah mas.” Kata Nura lagi.
“Sekali-kali nggak apa-apa dek. Mumpung disini mau kapan lagi coba? Kan dek Alifa belum pernah naik kuda.”
Akhirnya Nura mengalah dan Faris membawa Alifa ke area menunggang kuda. Penjaga kuda menaikkan tubuh Alifa keatas punggung kuda. Faris segera menyusul menaiki punggung kuda dan duduk dibelakang Alifa.
“Pegang tali kekangnya yang kuat ya dek.” Seru Faris. “Kita akan menunggang seperti koboi…” teriak Faris girang.
“Oke deh…” seru Alifa.
Faris menggoyangkan tali kekang dan menghentak tubuh kuda dengan kakinya. Kuda pun mulai berjalan mengelilingi lapangan.
“Kalo tadi adek naik punggung mas sekarang adek naik punggung kuda.” Celoteh Alifa. Faris tersenyum senang. Kuda putih itu terus berjalan membawa mereka mengelilingi lapangan, layaknya membawa seorang putri dan pangeran berjalan di sabana. Setelah kurang lebih tujuh putaran mereka turun dari kuda.
Hari menjelang sore mereka memutuskan untuk segera pulang. Faris menggenggam tangan Alifa, keduanya berjalan bernyanyi sambil berlenggak-lenggok. Mata Alifa masih menyapu daerah itu. Pemandangan hijau bagai berada di SyurgaNya. Air terjun yang mengalir, kebun teh yang anggun, sungai-sungai kecil yang berair panas. Alifa menghentikan langkahnya di depan penjual boneka. Matanya tertuju pada sebuah boneka buaya cokelat muda. Tangan kirinya masih kuat mencengkram tangan kanan Faris. Langkah Faris turut terhenti.

“Mas, adek ingin boneka itu.” Tunjuk Alifa pada boneka buaya coklat itu. Faris tercenung.
“Nanti aja belinya ditempat lain ya…” Ujar Sabrin menarik tangan adiknya.
“Berapa pak?” Tanya Faris.
“Lima belas ribu rupiah aja…” jawab si pedagang.
Faris kembali tercenung, dilihat dompetnya yang hanya berisi uang delapan ribu lagi dan hanya cukup untuk ongkos pulang mereka berempat. Faris menutup kembali dompetnya.
“Bisa kurang kok Mas…” ujar si pedagang.
“Makasih pak. Lain kali saja.” Faris melemparkan seulas senyum pada pedagang. Lantas menarik tangan Alifa untuk segera pulang. Alifa masih diam tak bergeming.
“Alifa ayo pulang sayang…” bujuk Nura
“Ayo nanti kesorean…” tambah Sabrin.
Alifa masih berdiri ditempatnya tak menggubris kata-kata kedua kakaknya. Matanya masih terpaku pada boneka itu.
“Ayo…” ajak Faris.
“Adek ingin boneka itu Mas…”
“Iya nanti Mas beliin di Jakarta aja ya…” bujuk Faris
“Alifa ingin sekarang Mas…”
“Nanti aja ya…” Faris segera  menggendong adiknya dan membawanya pergi dari tempat itu. Alifa meronta meminta dilepaskan, dan memukuli bahu Faris.
“Alifa ingin boneka buaya Mas…” teriak Alifa. Tangisnya tak dapat dibendung. Kali ini Faris tak menggubrisnya. Dia membawa adiknya terus menjauh dari pedagang itu.
Faris membawanya masuk kedalam angkot diikuti oleh dua adik perempuan lainnya Nura dan Sabrin. Perlahan tangis Alifa berhenti tapi bibirnya tak henti terus meminta boneka itu.
“Alifa ingin boneka buaya Mas…”
“Iya nanti mas beli ya… tapi nggak disini. Nanti mas beliin juga buaya aslinya, mau?” canda Faris.
“Nggak mau… adek ingin bonekanya.”

                                                                        ***
“Mas kapan pulang?” Tanya Alifa di telpon. Saat itu Faris telah kembali ke Jakarta.
“Nanti kalau kuliah mas udah libur, minggu depan insyaallah.” Jawab Faris.
“Mas jangan lupa beli boneka buaya ya…” Alifa mengingatkan janji Faris.
“Ini mas udah beli kok bonekanya warna cokelat.” Ujar Faris.
“Hore…” teriak Alifa senang. “ Oh ya! mas jangan ikut-ikutan demo kayak di TV ya… nanti mas ketembak lho…” ujar Alifa polos.
Saat itu setiap stasiun TV ramai menyiarkan berita-berita tentang mahasiswa yang berdemo untuk menurunkan pemerintahan Presiden. Sabrin termasuk yang paling rajin mengikuti berita itu dan mempengaruhi adiknya dengan dengan hal-hal negatif dari berita itu.
“Hmmm…” Faris tak menggubris perkataan adiknya. Dia justru termasuk orang yang dalam daftar mahasiswa yang rajin berdemo.
Siang itu cukup terik, namun tak pernah menyurutkan semangat Faris dan teman-temannya turun ke jalan untuk kembali berdemo. Dengan lantang mereka meneriakkan ketidaksetujuan dengan pemerintahan tersebut. Beberapa anggota keamanan dikerahkan untuk menghentikan para mahasiswa, terjadilah bentrokan dan keadaannya malah semakin kacau. Faris berlari menyelamatkan diri menuju kampusnya dengan beberapa orang temannya. Suara tembakan menggelegar di tempat itu. Satu suara tembakan lagi begitu dekat ditelinga Faris. Malang nasib pemuda itu, saat tangannya telah meraih pagar kampusnya siap melompatinya, tiba-tiba sebuah peluru bersarang di kepalanya tepat di otak bagian bawahnya. Faris mengumpulkan segenap tenaga yang masih tersisa berusaha untuk meloncati pagar kampusnya, tanpa diduga seseorang menarik dan menginjak-injak tubuhnya hingga tak berdaya lalu meninggalkannya begitu saja, bagai seonggok sampah yang tak berguna. Faris terkapar dijalan bermandikan darah segar yang terus mangalir dari lukanya. Nafasnya mengalir tak beraturan, pandangannya pun mulai memudar. Tak lama kemudian beberapa orang datang dan  membawanya ke rumah sakit terdekat.
                                                            ***

Sore itu Alifa sedang asyik bermain, sedangkan Sabrin asyik menonton berita di TV seperti biasanya memantau kabar para mahasiswa yang asyik berdemo. Kedua orangtuanya pergi empat jam yang lalu entah kemana tanpa memberitahukan dulu sebelumnya. Sabrin tampak antusias menyaksikan berita di TV, pendengarannya semakin ditajamkan saat pembaca berita menyampaikan berita demontrasi itu lagi. Berita itu menyebutkan bahwa demontrasi menjadi bentrokan dan menelan banyak korban. Sabrin merasa bulu kuduknya merinding mendengar itu.
“Ah Mas Faris kan sudah janji nggak ikut-ikutan lagi yang seperti itu. Minggu ini juga beliau pulang.” Gumamnya.
 Bagai petir di sore hari yang mengejutkan Sabrin, saat berita itu menyebutkan salah satu nama korban yang disebutkan adalah Faris Immadudin, kakak kandungnya sendiri yang dia kira tidak terlibat dalam insiden itu. Sabrin masih belum percaya dengan berita itu namun berita meyakinkan bahwa Faris yang dimaksud adalah kakak kandungnya. Mereka menampilkan gambar Faris yang terkapar dirumah sakit dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Faris tak sadarkan diri diranjangnya dengan peralatan medis yang membalut tubuhnya dan tampak kedua orang tuanya telah berada disitu mendampinginya.
“Adek… itu mas Faris…” tunjuk Sabrin pada Alifa.
Alifa hanya bengong menyaksikan berita itu tampaknya dia belum mengerti apa yang dimaksud kakaknya. Alifa malah balik memandang Sabrin heran.
“Itu mas Faris dek… Mas Faris sekarang di rumah sakit. Ayah dan Ibu udah disana.” Jelas Sabrin. Air matanya mulai meleleh membasahi pipinya yang halus.
Alifa masih terdiam ditempatnya. Dia begitu polos dan masih belum mengerti apa yang terjadi pada kakaknya.
                                                            ***
Pagi itu begitu kaku, matahari serasa enggan untuk bersinar, burungpun menyanyikan lagu duka. Alifa duduk di teras rumahnya hari ini seperti janji Faris padanya yang akan pulang membawa boneka buaya untuknya. Senandung-senandung kecil digumamkan dari mulut kecil Alifa. Rasa gembira akan mendapatkan mainan baru dan menyambut kedatangan kakak laki-laki satu-satunya itu.
Dua orang kakak perempuannya justru tengah menangis di kamarnya. Rumahnya dipenuhi oleh orang-orang mulai dari saudara-saudara hingga tetangganya yang tengah sibuk hilir mudik sejak tadi malam. Alifa tidak mempedulikan semuanya. Dia hanya memikirkan senyuman kakaknya saat membawa boneka itu.
Hari beranjak siang, Alifa masih duduk ditempatnya saat sebuah ambulan memasuki halaman rumahnya. Tak lama ibunya dengan wajah yang telah lebam dengan airmata turun dari mobil putih itu. Orang-orang segera menghampiri mobil itu. Lalu ayahnya turun dengan boneka buaya ditangannya. Alifa terheran-heran dengan keadaan itu.
“Ini untuk Alifa.” Ucap ayahnya sambil menyerahkan boneka buaya cokelat padanya. Ayahnya berusaha tersenyum dalam kegetiran.
“Lho kok ayah yang bawa bonekanya? Mas Faris mana? Mas Faris ikut pulang kan? Terus kenapa ayah dan ibu naik mobil ini?” Tanya Alifa berurutan. Ayahnya diam menunduk tak sepatah kata lagi yang terucap kini. Hingga beberapa orang mengeluarkan tubuh Faris dari mobil itu.
“Mas Faris kenapa…?” Tanya Alifa lemah.
Alifa mengikuti langkah orang-orang yang membawa Faris kedalam rumah dan meletakkannya di kasur yang telah disediakan di ruang tamu. Alifa segera menghampiri tubuh kakaknya.
“Mas Faris makasih ya bonekanya… Adek suka sekali… tapi kenapa harus ayah yang ngasihnya? Bukan mas Faris langsung. Padahal Adek ingin mas Faris yang ngasih langsung ke Adek.” Ucap Alifa. Akan tetapi masih Faris masih diam tak merespon perkataan adiknya.
“Mas Faris capek ya? Kok tidur terus? Sampai digendong orang-orang. Kayak adek aja. Mas Faris bangun dulu, mas Faris harus senyum dulu ke adek. Nanti mas Faris boleh tidur lagi. Kalau udah nggak capek nanti kita main boneka buayanya bareng-bareng ya.” Celoteh Alifa. Celotehan Alifa telah menyayat hati orang-orang yang hadir. Mereka melelehkan air matanya tak kuasa menahan pilu yang menggerogoti hati mereka. Nura segera menghampiri adik kecilnya.
“Adek… Mas Faris bukan lagi tidur. Mas Faris bukan lagi capek kayak adek. Tapi mas Faris sudah meninggal sayang.” Bisik Nura perlahan. Alifa tersentak. Matanya melotot tak percaya.
“Meninggal itu... apa Mbak Nura? Apa seperti si Abit kelinci putih adek yang di gigit kucing kemarin? Tidur dan nggak akan bangun lagi? Terus nanti dikubur didalam tanah?” ucap Alifa dengan mata berkaca-kaca.
Nura mengangguk pelan, dengan rasa getir diusapnya air mata yang telah menganaksungai dari sudut matanya.
Kini dia mengerti apa yang terjadi pada kakaknya. Bola matanya tertuju pada tubuh yang terbaring itu. Hatinya merasa teriris. Kakaknya tidak lagi datang dengan senyuman cerianya sambil menyerahkan mainan yang biasa dia pesan setiap kali Faris pulang. Kini Faris datang  dalam keadaan yang sangat jauh berbeda. Faris datang dalam keadaan terbujur kaku tak bernyawa lagi. Airmata mulai meleleh dari bola mata yang bening itu. Dipandanginya boneka buaya itu. Segera ia beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri ayahnya yang berdiri tak jauh darinya. Alifa menyerahkan boneka itu pada ayahnya sambil berkata, “Ayah, Alifa nggak mau boneka ini lagi, yang Alifa mau mas Faris bangun lagi dan main dengan Alifa.”
Ayahnya menatapnya sendu. Dikecupnya kening putri bungsunya itu. Tak ada kata-kata yang terlontar dari mulut laki-laki paruh baya itu. Selain pandangan penuh duka dan kegetiran dari mata tua yang membendung luka dihatinya. Mata yang mengungkapkan akan kehilangan orang yang seharusnya bisa menggantikan posisi dirinya saat dia pergi kelak. Namun sosok itu justru pergi mendahuluinya. Kembali dipandanginya wajah polos malaikat kecilnya yang terus mengharap kembalinya sang kakak.
“Alifa cuma ingin mas Faris kembali…” ucapnya lagi.
“Kembaliin mas Faris…” ucapnya melemah.
                                                            ***


Comments