Skip to main content

Biarkan Luka ini Hanyut dalam Deras Hujan (edisi revisi)

(Salah satu cerpen dalam Antalogi Cerpen Hujan)
Dalam curahan air hujan aku melangkahkan kakiku perlahan, tak sedikitpun ingin mempercepat langkahku ataupun berniat berteduh di emper toko. Meski hujan itu tak bisa dikatakan gerimis lagi. Deras!
Ku biarkan tubuhku basah kuyup dalam balutan jaket tebal yang memang telah aku pakai sebelum hujan turun membanjiri bumi. Hujan, biarlah engkau membasuh diriku, membasuh luka yang tersimpan dalam hati ini. Biarkan ia larut bersamamu, pergi dalam aliran air deras yang terus mengalir. Tak ada seorang pun yang dapat membedakan mana hujan yang tumpah dari mataku dan hujan yang tumpah dari langit.
Hujan, dulu aku sangat menyukai kehadiranmu tapi sejak saat itu kehadiranmu bagaikan belati yang menyayat hatiku dan menggoreskan luka yang semakin mendalam. Karena... karena kau selalu mengingatkan aku pada pesannya, larangannya, perhatiannya yang kini harus ku usir dan ia pergi entah kemana. Entah ia hanya berlari ke arah yang tak menentu atau menemukan rumah lain untuk bersinggah.
“Dek, lain kali kau tak perlu hujan-hujanan lagi. Basah kuyup seperti itu, gimana kalau kamu sakit?”
Ah… kau! dengan bunyi jutaan tetes airmu selalu merapalkan ingataan di memori otakku pada celotehan lelaki itu. Tentang dia yang selalu khawatir melihat atau mendengarku kehujanan. Celotehan yang menusuk bagaikan ribuan jarum membilukan hatiku.
“Ah… biarkan saja, hujan tidak pernah membuat orang sakit. Mereka sakit karena imunitasnya yang sedang menurun.” Ujarku keras kepala.
“Ah… bukan cuma sakit. Tapi bajumu bisa apek, baju yang basah bisa menempel dikulit dan membekas bentuk tubuhmu” omelnya lagi.
Celotehanku dan celotehan lelaki itu saling bersahutan dalam pikiranku, bising menyaingi suara riang tetesan air yang kini tengah menghantam tanah, kaca, pohon dan lainnya.
Selesai, tak ada lagi perseteruan yang memaksaku harus patuh pada lelaki itu. Perseteruan itu hanya bersarang di benakku dan akan semakin riuh saat hujan datang.
Sejak saat itu takkan ada lagi percakapan apapun antara aku dan lelaki itu. Blacklist! Kata itu terpaksa aku terapkan padanya. Bukan karena aku membencinya. Tidak! tidak pernah ada kata benci, seperti aku tak pernah membenci hujan, meskipun jalanan dibuat becek, meskipun petir bersahutan melemahkan nyaliku. Aku tak pernah membencimu, kau dan lelaki itu. Bukankah aku selalu merindukan kehadiranmu saat kemarau menyengat sepanjang ia mengambil alih posisimu.
Sama halnya perasaanku pada lelaki itu. Karena aku mencintainya, kata kerja yang belum pantas aku lakukan padanya, kata kerja yang tak semestinya ada untuknya. Belum ada hakku bertaut kata cinta padanya. Terkadang aku tak mengerti dengan kata itu. Benarkah dia sama menentramkannya sepertimu? Seperti bunyi tetesan airmu yang menghayutkan jiwaku dalam kedamaian. Benar sekali… belum saatnya aku jatuh cinta, sedang aku masih harus meniti amanah yang terhampar di depanku. Perbendaharaan amanah lelaki itu pun lebih banyak dari diriku, meminta untuk segera diselesaikan. Begitulah, jangan pernah mentoleransi diriku dengan membiarkan cinta merasuki ke relung hati, sebelum terucapnya janji yang mengguncang Arsy dari mulut lelaki itu atas namaku. Atau sederhananya, hijablah hati ini jika mungkin hingga ke langit. Jangan biarkan Allah mencemburuimu karena perbuatanmu.

“Adek, nggak inginkan mengganggu ibadahnya beliau hanya karena beliau memikirkan adek. Dan adek juga nggak ingin memikirkannya juga? Adek nggak inginkan menjadi fitnah baginya? Iya kan?” tatap kakak perempuanku menggebu. Pada pancaran matanya jelas terlihat ketegasan yang tak bisa aku ingkari.
“Tapi mbak… benarkah adek harus memutuskan interaksi dengannya? Adek nggak bisa mbak.” Ratapku.
“Adek bisa. Karena Adek lebih mencintai Allah daripada lelaki itu.” Kata-kata terakhir kata-kata kakakku mengunci pembelaanku. Speechless. Aku tidak bisa membuat pembelaan lagi kecuali mengikuti sarannya. Dengan berat hati aku menghapus semua sms sekaligus no. handphone lelaki itu. Meremove akunnya sebagai teman di Facebook. Ya, lupakan dia. Usir bayangnya, hapus jejaknya.
Ya Rabb… kuakui berat semua itu kujalani. Rupanya cintaku padaMu belum mampu menguatkan aku. Meskipun cintaMu padaku tak pernah aku ragukan. Ah… jika saja hati ini telah dipenuhi oleh cinta padaMu, tentulah aku tak membutuhkan cinta lain. Tentulah aku mampu mencintai lelaki itu karena cintaku padaMu, dan tentulah aku takkan sebegitu terlukanya saat aku harus melupakannya sementara. Seperti sang air yang rela menguap menjadi awan dan kembali mencair menjadi tetesan hujan, semata karena mereka cinta dan patuh pada titahMu.
Aku masih melangkah gontai dalam derasnya hujan yang semakin menjadi-jadi. “Aku tak peduli dengan nasehatmu kali ini. Karena aku ingin hujan membawa lukaku pergi dalam basuhannya.” bisik hatiku.
Tak terasa pintu rumah telah dihadapanku. Aku segera masuk dan membuka jaketku yang basah kuyup. Sepi, tak ada cirri-ciri kehidupan. Aman, pikirku.
“Adek…!!” tak kuduga suara kakakku langsung menyambut kedatanganku. Jantungku nyaris melompat dari tempatnya. Ku perhatikan dia sekilas. Sudah rapi dengan gamis cokelat dan kerudung kremnya juga payung ditangan kirinya.
“Hujan-hujanan lagi?” tanyanya penuh kekhawatiran.
“Kehujanan mbak…” jawabku dingin, sedingin tubuhku yang mulai menggigil.
“Cepat ganti bajumu.” Sarannya. Aku melemparkan seulas senyuman padanya tanda setuju untuk mengikuti anjurannya.
“Mbak pergi ngajar dulu ya…” ujarnya lagi sambil membuka pintu. Lantas dia telah hilang dibalik pintu sebelum aku menjawab apapun.
Aku masih berdiri memaku di balik jendela, kulihat kakakku berjalan menyusuri halaman rumah  dengan payung merah jambu menutupinya dari curahan hujan.
Hujan mulai mereda. Tapi kenapa luka ini belum juga mereda, masihkah bersemayam d irelung ini? Belumkah air hujan itu membasuh lukaku dan menghayutkannya??

Comments