Skip to main content

Terlanjur Senja

23 November 2011
Mentari bersinar cukup kuat hari ini, tak ada tanda-tanda hujan akan turun segera. Langkah cepatku membelah jalanan Rancabolang menuju tempat pemberhentian mobil angkutan yang setia mengantarkanku ke kampus. Sebuah sirene berbunyi seperti suara sekumpulan nyamuk yang memekakan telingaku. Kulihat sebuah ambulance melaju cepat diiringi beberapa mobil mewah dibelakangnya.

13 Mei 2003
Bunyi telpon memecah kesunyian rumahku yang telah sepi beberapa hari yang lalu, ibu telah dijemput kakak lelakiku beberapa hari yang lalu untuk merawat adiknya yang sakit keras, sedangkan ayahku lebih suka tinggal di ruko yang terletak di depan jalan raya dibanding tinggal di rumah bersamaku, disamping kakak-kakakku yang telah lama pergi merantau ke kota sejak lulus sekolah, melanjutkan pendidikan dan bekerja disana.

"Assalamualaikum." salamku.
"Waalaikumsalam." jawab suara di sebrang telpon. "Dek, ini mbak Sri. Cepat bilang ke bapak, panggil ustadz, lebai, pak RT dan RW, suruh siapkan sekarang segera." Perintahnya keras, namun kutangkap getar suaranya yg tak aneh bagiku.
"Untuk apa tho mbak?" tanyaku heran. Aku berusaha menajamkan pendengaranku.
"Untuk pemakaman, Mama meninggal!!!" jelasnya lagi. nut..nut...nut... sambungan telpon pun terputus.
Aku masih mematung di depan telpon, meletakan gagang telpon perlahan. kaku.
Aku berbalik arah, berlari meninggalkan rumah menuju ruko tempat ayah berada saat ini. "Bapaaaaaaaakkkk..." teriakku. Sesampainya disana ruko dalam keadaan terkunci telah pasti bahwa ayahku tak ada disana.
"Bapaaaaaak." Aku kembali memanggilnya, tak ada sahutan sedikitpun walaupun desahan nafas pendek pun tak kudapat.
kemana perginya ayahku. Kebingungan, rasa sedih, dan jantung yang bagai tercabik melemaskanku. Aku bersandar pada pintu masih mencoba mengetuk, berharap ayahku menyahutiku dan membukakan pintu. Sia-sia, ayahku memang tak ada di dalam ruko. "Bapak..." panggilku lemah, tubuhku menggelosor di lantai. Mataku mulai panas tapi air mata tak mau jua mengalir.
Mbak Teti, pikirku. Aku harus mengabari berita ini pada beliau dan meminta beliau memanggil warga untuk mempersiapkan pemakaman. Ya, aku tak punya banyak waktu, mereka akan datang dari kota bersama jenazah, pikirku. Aku segera beranjak dan berlari menuju rumah mbak Teti, sepupuku, cucu tertua dikeluarga besar kami.
"Mbak Tetiiiiiiiii..." teriakku saat telah mendekati rumahnya.
"Disini, disamping." sahutnya.
"Ada apa ateu? Kok teriak-teriak?"tanya Mas Ammad, putra mbak Teti yang sebenarnya lebih tua dariku.
Aku meliriknya, tak menjawab tanyanya dan segera berlari ke samping rumah.
"Mbak Teti..." Panggilku lebih pelan. Ku dapati dia tengah mengobrol dengan tetangganya. Kini aku hanya berjalan pelan, lelah rasanya ototku serasa melumer. Aku terdiam mematung memandangnya dari kejauhan. Dia menoleh padaku, sebuah senyuman dia lemparkan padaku.
"Ada apa tho dek?"tanyanya menatapku heran yang tak kunjung mendekatinya.
"Mama... meninggal." Ucapku. Tangisku mulai pecah.
"Inalillahi wa inaillaihi roji'un." Ucapnya. Dia segera menghampiriku. Dihapusnya air mataku yang telah mengalir deras di pipiku dengan telapak tangannya.
"Bantu aku kumpulkan warga, bantu siapkan pemakaman."
"Bapakmu ndi?"tanyanya
"Ndak tahu mbak, tadi ke toko tapi ndak ada. mungkin ke ladang." Jawabku.
"Nggih...nggih, mbak panggil Pak lebai, Pak RT dan yang lainnya dulu ya, tak suruh mereka kumpul di rumah si mbah. Kamu mau kemana sekarang?"
"Cari bapak mbak."
"Kemana?"
"Ke ladang."
"Jauh dek, bahaya itu. Biarkan oranglain aja yg nyari."
"Ndak apa-apa, biar aku aja."
"Dek..." Suara lelaki dari kejauhan memanggilku. Aku menoleh, kulihat bapakku berdiri tak jauh dari tempatku.
"Bapak..." Panggilku. "Bapak kemana? aku cari-cari. Mbak Sri tadi nelpon, minta disiapkan..." Kata-kataku terputus.
"Iya nak, bapak sudah tahu. Bapak tadi cari bantuan ke tetangga." Jawabnya.

***
Suara sirene itu berdengung-dengung di telingaku memecah kesunyian pada senja yang mulai menjingga, semacam anak kecil yang menangis ditinggal ibunya. Ambulan itu datang, dan sejenak berhenti di depan rumah si mbah yang terletak disamping ruko kami, kemudian kembali melaju menuju pemakaman terakhir. Kakak perempuanku menyerahkan anak balitanya ketanganku.
"Titip." katanya. "Mbak mau ikut ke makam."
"Aku juga." pintaku.
"Ndak usah, kamu jaga andhika aja." ucapnya, lantas dia berlari menuju mobil kakak lelaki dan bertengger kesana, iringan jenazah pun begitu ramai dengan suara sirene yang diikuti beberapa mobil mewah. 

 Hingga iringan telah tak terlihat lagi, aku masih berdiri mematung memandangi kepergian mereka, mengabaikan keponakan lelakiku yang sedari tadi menangis dalam pelukanku. Tangis pilu, sepilu hatiku melihat kepergian salah satu orang yang kucintai. Tak berapa lama sebuah bis berhenti di depan rumah si mbah, kulihat kakak perempuanku yang lainnya turun, rupanya dia adalah penunjuk arah rombongan dari sahabat almarhumah.
"Ambulannya sudah datang?"tanya kakakku.
Aku tak menjawab, jariku yang menjawab dan menujuk ke arah timur pertanda mereka telah pergi ke tempat pemakaman. Kakakku segera melompat kembali ke dalam bis dan bis pun meninggalkanku. Tangis balita yg dalam pelukan tak mau berhenti meski suara sirene itu tak menyahuti lagi suara tangisnya. Benarkah dia mengerti bahwa kami sedang berduka, hingga langitpun perlahan menitikan air matanya lewat gerimis-gerimis halus yang turun perlahan.
Seseorang mengambil balita itu dari lenganku, menimang-nimangnya dan berusaha untuk meredakan tangisnya.

Bulan yang tak diingat pada tahun 1993

Dan ketika Allah menakdirkannya hanya mampu melahirkan seorang putri dari rahimnya, maka saat itu Allah menakdirkan dia menjadi ibu bagi anak-anak yang lahir di keluarga besar kami. Mencintai setiap anak dengan penuh ketulusan.
"Mama... gedung apa itu?" tanyaku, seraya menunjuk pada bangunan tinggi disamping kiriku, dalam kesibukannya menyetir sedan merah kesayangannya, wanita itu menolehkan pandangannya ke arahku yang duduk disamping kirinya kemudian melihat gedung yang aku tunjuk
"Itu hotel Horison, ia." Jawabnya.
"Mama... sekarang kita akan pergi kemana?" tanyaku lagi. 
"Kita akan belanja sayuran dan daging ke pasar." Jawabnya. Mestinya aku tak harus bertanya lagi, karena itu telah menjadi rutinitasnya, belanja ke pasar, menyerahkan pada ibuku untuk dimasak, lalu mengirimkan makanan itu pada para pemain bola kebanggaan kota itu di tempat penginapan mereka selama latihan.
Sesampainya dipasar, aku diam tak bergeming.
"Ayo..." ajaknya. Aku menggelengkan kepalaku. Mataku menatap mainan berupa miniatur blender, mixer dan perabotan rumah tangga lainnya.
"Ia mau?" tanyanya. Aku mengangguk, tanpa ragu sedikitpun wanita itu membelikannya untukku.
***
"Ayo Idan dan Ia, coba berdiri dekat pohon pisang itu." Serunya seraya menunjuk replika pohon pisang di ruang tamu rumahnya.
"Ayo dong Idan, Ia, deketan dong masa jauh-jauhan gitu."
Aku melirik sepupuku Idan dengan tatapan sinis. 
"Eh...eh... masa sodaraan jutek-jutekan gitu?" serunya lagi
Aku menggeser perlahan, demikian juga dengan Mas Idan. "Senyum ya.. 1 2 3" klik... suara kamera pun berbunyi.
"Oke... semoga hasilnya bagus."
***
Aku mengendap-endap kamarnya saat wanita itu sedang tertidur nyenyak di ranjang empuknya. Mataku sesekali waspada, kalau-kalau wanita itu terbangun dari tidurnya. Perlahan ku raih botol sampo anak-anak yang berjejer dikamar mandinya.
"Ia..." panggilnya.
"Iya... mama..." sahutku.
"Sini." Panggilnya. Aku menghampiri dan duduk diranjang, disampingnya. Sesekali aku melirik deretan sampo untuk anak-anak itu.
"Ia mau?" aku mengangguk cepat.
"Lain kali kalo mau bilang ya, nggak usah ngendap-ngendap seperti itu."Ujarnya lagi. Dia beranjak dari tempat duduknya, mengambil satu botol dan menyerahkannya padaku.
"Makasih."
"Mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya itu namanya mencuri sayang, perbuatan mencuri itu nggak disukai Allah lho... jangan diulangi lagi ya.."
"Iya mama... aku ndak tau" ucapku.

Dan diantara anak-anak yang mendapat kasih sayangnya, aku bersyukur karena menjadi salah satu anak yang paling dekat dan dicintainya.

13 Mei 2003
Saat Allah memanggil dia, dan mengambilnya dari sisiku, dari posisinya sebagai ibu keduaku, Dia tak pernah membiarkanku hanya dicintai satu ibu, karena kemudian Dia memberiku ibu kedua yang lain.

Adzan maghrib telah berkumandang, mereka, rombongan itu belum juga kembali dari pemakaman itu. Tangis balita itu telah mereda, dia telah tertidur dilengan seorang gadis yang menimangnya sejak tadi. Dan langitpun masih enggan menghentikan tangisnya.

ingin aku mengiringimu hingga tempat akhir, ingin ku bisikkan, Aku mencintaimu seperti seorang putri yg mencintai ibunya. Terimakasih untuk cintamu...








Hujan teringatkan aku
Tentang satu rindu
Dimasa yang lalu
Saat mimpi masih indah bersamamu

Terbayang satu wajah
Penuh cinta penuh kasih
Terbayang satu wajah
Penuh dengan kehangatan

*Satu Rindu Opick feat Amanda

Comments