Skip to main content

Gelap, Sunyi, dan Seberkas Cahaya


...dan yang terpenting adalah hindari kebiasaan 3M kita, mengeluh, menyalahkan orang lain dan mencari pembenaran.” Potongan paragraf dari artikel sebuah situs Islami yang sedang aku baca. Aku tengah asyik berselancar di opera mini dengan si orchid, hape mungilku ketika kakak sulungku memanggilku.
“Qis...” panggil bang Syamil. Aku menoleh ke arahnya yang kini sudah mahir menyetir jarak jauh, PP Bandung-Cirebon tanpa menginap di tempat tujuan. Bang Syamil melirik ke arahku sekilas lewat kaca spion kemudian ia melirik Mbak Hanna -yang duduk di jok depan di sampingnya tengah tertidur pulas- untuk memastikan istrinya yang baru ia nikahi sebulan itu benar-benar nyaman di tempatnya.
“Ya Bang?” tanyaku. Ku letakkan handphone yang ku gunakan untuk internetan selama perjalanan dari Cirebon hingga kini mobil kami membelah jalanan Sumedang.
“Adikmu kenapa tuh? Lagi ada masalah? sedari tadi ngelamun terus liatin jalanan.” Bang Syamil terkekeh, mata elangnya kembali tertumbu di spion tengah dengan sasaran adik bungsu kami itu.
Aku melirik ke arah Hilya, ku pikir dia tertidur. Matanya sibuk mengikuti objek-objek yang berlarian di samping mobil kami. Lampu-lampu jalan, pohon-pohon, dan kadang semak belukar. Menikmati perjalanan malam menjadi hobi barunya, bukan lagi naik ke atap rumah dan nongkrong disana dengan mushafnya sambil menikmati fajar atau pergi ke taman sendirian dengan ribuan khayal dan pikiran yang menggelayutinya.
Aku melirik jam tanganku. Pukul 01.30 dini hari. Suasana jalanan teramat sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas di jalanan, itu pun hanya truk-truk pengangkut barang.
“Ah... abang kayak yang nggak kenal sama adikmu aja. Tingkahnya kan suka aneh-aneh.” Balasku. Hoalah jadi kamu adik siapa dek. Kakak-kakakmu pada nggak mau ngaku gini. Aku terkekeh.
“Ish... Bang Syamil sama Mbak Qis ini apaan sih. Aku masih normal kok. Repot amat sih pada nggak mau ngakuin aku jadi adiknya.” Hilya mengangkat wajahnya yang sedari tadi di tekuk menghadap kaca mobil, memandang aku. “Ini lagi bang Syamil nyebelin.” Hilya menepuk jok pengemudi yang berada tepat di depannya.
“Yee... abang kuatir aja dek. Dari tadi berangkat sampai sekarang mandangin kaca mobil terus. Kalo kesambet gimana?” goda Bang Syamil lagi.
“Kalo kesambet abang yang repot, kiri kanan cuma tebing dan jurang, nggak ada perumahan penduduk. Susah cari bantuan.” Seloroh Hilya sebal. Seperti biasa aku hanya cekikikan setiap mendengar celotehan keduanya.
“Tuh udah pinter, makanya jangan ngelamun terus dek.” Lagi-lagi bang Syamil melirik ke istrinya yang masih tertidur pulas berselimut jaket tebal.
“Masih ada bang. Mbak Hanna nggak kemana-mana kok.” Hilya kembali berseloroh. “Mentang-mentang pengantin baru diliatin mulu.” Cibir Hilya.
“Ngiri aja kamu dek.” Jawab Bang Syamil pendek.
“Ngapain juga ngiri. Tiap orang kan punya kebutuhannya masing-masing.” Hilya kembali memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil.
“Sensitif amat sih dek.” Kini giliran aku yang bersuara menengahi keduanya. Bang Syamil kembali terkekeh.
“Habis punya kakak dua, kok nggak ada yang pengertian banget sih sama adeknya.” Suara Hilya nampak parau menahan tangis. Ow...ow... nih beneran serius. Butiran bening sudah menggenang di pelupuk matanya.
Bang Syamil langsung menghentikan tawanya. Tampak ia seperti menelan ludah. Raut wajahnya yang ku tangkap lewat kaca spion tengah tampak mulai serius.
“Kenapa dek ada masalah?” aku mengelus punggung adikku.
“Makanya cerita, nggak usah dipendam sendiri.” Bang Syamil menimpali.
Hilya menyeka air matanya sebelum genangan itu pecah dan mengalir di pipi chubbynya. “Tentang proposal skripsimu yang terus ditolak?” tanyaku. Hilya mengangguk.
“Kenapa susah sekali ya Mbak, dulu bang Syamil langsung di acc, skripsinya lancar. Beres, langsung sidang dan wisuda. Mbak Qis juga, lancar-lancar aja. Sekarang malah udah mau sidang. Nah aku, baru proposal aja susahnya minta ampun.” Hilya mulai terisak. “Kok Allah nggak mau bantu skripsi aku sih mbak, ngajuin judul ini ditolak, ngajuin yang itu suruh ganti. Aku juga kan kepingin cepet lulus. Kalo gini terus putus asalah saya ini, mbak.”
“Kok ngomongnya gitu sih dek?” aku mulai meringis. “Kan barusan adek sendiri yang bilang tiap orang punya kebutuhannya masing-masing, punya urusannya masing dan tentunya punya ujiannya masing-masing.” Aku menghela sejenak.
"Hidupku saat ini seperti jalanan di malam hari, gelap, sunyi dan tak tahu ke arah mana harus melangkah." Hilya mulai berpuitis setiap kali mengungkapkan perasaannya. 
"Setiap orang pasti pernah merasa buntu dan berada dalam kegelapan seperti yang adek bilang tadi, tapi kita tak boleh hilang tujuan. Tetapkan tujuan di hatimu, terutama tetapkan bahwa Allah tujuanmu. Seperti mobil ini yang terus melaju, meski berada dalam kegelapan dan kesunyian, karena sudah ada tujuan ya ke Bandung. Bukan karena gelap dan sunyi, lantas kita berhenti. Ya mungkin bisa, seperti bang Syamil saat keadaan lelah seperti tadi, beliau memarkirkan mobilnya di SPBU untuk tidur, adakalanya kita berhenti sejenak, tapi tidak untuk menyerah melainkan untuk mengumpulkan segenap tenaga untuk melanjutkan tujuan." Jelasku.
“Semua orang juga tahu hidup ini seperti sisi mata uang ada sedih dan ada senang. Itu biasa dek. Tapi kebanyakan orang mengharapkan semuanya lancar-lancar aja dan lupa menikmati proses.”" Bang Syamil menimpali.
“Semua orang punya masalah dek. Adek nggak lupa kan gimana perjuangan Bang Syamil sama Mbak Hanna, sampai akhirnya menikah? Nggak sebentar kan dek? Dan nggak mudah jalan yang mereka lalui. Lebih dari setahun mereka bersabar baik dalam ikhtiar maupun penjagaan hati.” Aku kembali mengambil posisi.
“Itu kan lain lagi ceritanya.” Hilya tampak cemberut.
“Inget nggak dek. Surat al baqarah ayat 214? Yang intinya manusia itu tidak bisa dikatakan beriman sebelum Allah mengujinya. Dan suka-suka Allah dalam hal apa Dia mau menguji hambaNya. Karena Dia paling tahu tentang hambaNya dibanding hambaNya itu sendiri, dan ujian seperti apa yang bisa dilalui untuk semakin dekat denganNya.” Jelas Bang Syamil.
“Okelah Bang Syamil diuji disitu. Nah. Mbak Qis, selama ini nggak ada ujian tuh. Semuanya lancar skripsinya juga.”
Aku menelan ludahku. Tidak semua hal kamu harus tahu dek, gumamku dalam hati. Bang Syamil mencuri pandang lewat spion lagi. Menatapku iba. Dia paling tahu apa yang pernah terjadi padaku.
“Qisthi juga... lagi pula tidak semua hal kamu tahu dek.” Bang Syamil mencoba membelaku, meski tak perlu.
“Selama ini aku nggak pernah denger mbak Qis ada apa-apa kok. Dia selalu baik-baik saja.”
“Tidak semua hal mesti kamu tahu, dan tidak semua duka meski diumbar.” Meski seperti terkesan membelaku, nada suara Bang Syamil masih tetap bijak tanpa emosi.
“Bang...” desisku. Aku mencoba mengingatkan Bang Syamil jangan sampai beliau terlalu jauh bercerita. Bang Syamil tampaknya paham dengan isyaratku.
“Oke... atau mungkin ujian Qisthi tak sepahit dirimu dek. Mungkin selama ini Allah lebih banyak mengujinya dengan nikmat. Bukannya tujuan ini cuma dua. Syukur dan Sabar? Kalau Qisthi bisa terus bersyukur dengan nikmat Allah, maka Allah akan menambah nikmatnya, tapi kalo Qisthi kufur, dia celaka. Nah, demikian juga kamu dek. Kalo kamu bisa sabar dengan ujian itu dan nggak putus asa. Allah akan menolongmu, Allah akan senantiasa membersamaimu, tapi kalo kamu tidak bisa bersabar, kamu celaka dek. ” Bang Syamil menghela nafas. Hilya tertunduk dalam.
“Lagian kita nggak punya pilihan lagi saat di uji sama Allah selain bersabar, terus berikhitiar sambil terus memohon pertolongannya. Percaya aja dek, Allah nggak akan pernah Dzalim. Kalo kita berputus asa dari rahmatNya, pada siapa lagi kita akan memohon? Kalo kita suudzan sama Allah, terus sama siapa lagi kita berhusnudzan? Yang penting sekarang, perbaiki dan perbagus ibadahmu, mudah kok bagi Allah untuk melancarkan urusanmu.” Jelas Bang Syamil.
Aku terhenyak mendengar penuturan abangku ini, baru kali ini aku mendengar ia begitu mantapnya menjelaskan tentang betapa pentingnya haqqul yakin pada Allah.
“Bang... makasih ya. Seneng sekali punya kakak seperti abang. Kelak Qisthi juga kepingin punya suami kayak abang yang bisa menguatkan keyakinan Qisthi pada Allah ketika diuji.” Ujarku.
Bang Syamil kembali terkekeh, “Aamiin, semoga lebih baik dari abangmu ini. Tapi, kamu jangan mengandalkan orang lain seperti itu. Untuk urusan keimanan, kamu harus mandiri, berdiri sendiri, bukan intervensi dari orang lain. Jangan terlalu berharap keimananmu bisa diperkuat oleh orang lain, yang terpenting itu harus dirimu sendiri yang menguatkan. Ingat kan pas tahun kesedihan Rasulullah? Dalam setahun itu Rasulullah kehilangan orang-orang yang dicintainya. Orang-orang itu pula yang berperan banyak dalam dakwah beliau. Kekuatan ekonomi oleh khadijah ra., dan kekuatan perlindungan dari orang kafir oleh Abi Thalib. Tahu nggak dek apa hikmah dari tahun kesedihan itu?” tanya bang Syamil padaku.
“Apa bang?” aku balik bertanya.
“Allah memutuskan semua pengharapan pada makhluk, ya seperti yang abang bilang barusan. Agar Rasulullah sepenuhnya hanya berharap pada Allah. Agar tidak ada yang diandalkan kecuali Allah.”
“Emang nggak boleh gitu bang kita dikuatkan oleh orang lain?” tanya Hilya yang sedari tadi memilih membisu kini mulai bersuara. “Bukanya adakalanya manusia itu khilaf dan butuh diingatkan oleh orang lain?”
“Benar itu dek dan boleh-boleh saja kok diingatkan orang lain, itu salah satu karakter seorang muslim kok senang diingatkan ketika khilaf.  Tapi itu sifatnya hanya perantara. Jangan sampai mengandalkan orang untuk terus dikuatkan. Apalagi masalah keimanan, kuatirnya saat keimanan goyah dan nggak ada yang menguatkan bisa semakin terpuruk. Gitu lho dek. Ada baiknya ketika kita sudah merasa ngeh ada yang nggak beres segeralah beranjak.”  Jelas bang Syamil
“Kalo nggak ngeh?” masih tanya Hilya.
“Insya Allah ngeh, alarm hati akan berbunyi kok. Itulah fungsi hati, mengontrol diri.” Jawab bang Syamil.
“Kalo alarm hatinya nggak berfungsi?” Hilya semakin tertarik bertanya pada Bang Syamil.
“Pada dasarnya hati akan selalu mengingatkan dan menegur saat kita salah. Bukannya kalo kita berbuat salah cirinya ada dua. Hati tidak akan merasa nyaman, dan takut saat ketahuan orang lain. Nah, yang jadi masalah sebenarnya adalah mau tidak kita mengikuti kata hati, masalahnya banyak orang, mungkin kita termasuk di dalamnya yang lebih sering mengabaikan kata hati.”
“Kalo kita terus mengabaikan kata hati?”
“Hati akan terkotori dosa itu, akibatnya kalo semakin sering hati akan akan tertimbun dan alarm hati tidak akan berfungsi dengan baik lagi. Ingat teori cermin kan dek?” Diakhir penjelasannya Bang Syamil mengingatkan teori cermin yang pernah diajarkannya dulu pada kami.
“Cermin yang kotor tidak bisa menampilkan bayangan diri.” Jawab Hilya.
“Cerdas!” Puji Bang Syamil tulus.
“Kalau sudah begitu? Taubatlah pembersih jitunya. Iya kan?” tanya Hilya meyakinkan.
Daebak!” Lagi-lagi Bang Syamil melemparkan pujiannya.
“Apa putus asa juga dosa, Bang?” tanya Hilya lagi.
“Ya iya... putus asa dari Rahmat Allah itu dilarang keras dek. Toh, pasti... sangat pasti pertolongan Allah itu akan datang bagi hambaNya yang berserah dan memohon padaNya.”
Aku dan Hilya manggut-manggut. Kekagumanku pada kakakku yang kadang menyebalkan itu semakin bertambah. Aku tak tahu jika beliau lebih dari yang aku bayangkan sebelumnya.
“Ya sudah... kamu nggak usah sedih lagi. Mbak Qisthi janji mau bantuin skripsi kamu.” Seloroh Bang Syamil.
“Eaaa... si abang lempar batu seenaknya gitu.” Aku merenggut. Nyebelinnya keluar lagi, padahal belum satu jam aku masih mengaggumi kakakku itu.
“Hahahaha...” Bang Syamil tertawa. “Abang dan Mbak Hanna juga tentunya...” tambah beliau.
Aku menghela nafas.
“Iya bang? Alhamdulillah...” Hilya tersenyum girang.

 


Comments