Skip to main content

Kekosongan

Cerpen Hujan #2 (Sekuel: Biarkan Luka ini Hanyut Dalam Deras Hujan)

Awan hitam menggantung di langit kotaku cukup lama, sampai akhirnya menurunkan jarum-jarum beningnya menderas. Aku berlari dan segera memburu emper toko sebagai tempatku berteduh. Aku segera menghapus tetesan air di hardcover ungu yang melapisi ratusan lembar kertas hvs. Jaket hitam yang biasa ku persiapkan sebelum hujan tak bersamaku, pagi tadi kakak perempuanku meminjamnya dan aku tak menduga jika hujan akan datang hari ini. Ku rapatkan tubuhku ke dinding toko menghindar dari tetesan air yang memburu tubuhku yang mulai basah, meski tidak kuyup. Ku peluk rapat tiga bundle kertas yang berjilid ungu itu dalam dadaku, berharap tetesan hujan tak sampai menyentuhnya. Hujan turun begitu derasnya menurunkan ribuan kubik airnya, seolah ia ingin menumpahkan semua pasukannya yang bersisa di langit. Hei, benarkah kau sedang marah padaku?
"Lebet heula atuh neng?" panggil ibu pemilik toko itu. Seketika aku menoleh ke arahnya "Hujanna ngagebret pisan." ujarnya lagi.
Aku tersenyum lalu menganggukkan kepala, "Nggak apa-apa bu disini aja." jawabku. Ini bukan pertama kalinya orang-orang mengajakku berbicara dengan bahasa Sunda, padahal kentara sekali wajahku made in Java.

Ibu itu tersenyum, ia memperhatikanku lekat juga pada beberapa eksemplar bundelan berjilid ungu tua itu.
"Bukan orang sini ya neng?" tanyanya setelah mendengar logat jawa yang medok. Aku kembali mengangguk. Kemudian ia membungkukan badannya beberapa saat mencari sebuah benda di etalase tokonya.
"Ini neng, bukunya masukin aja kesini biar nggak basah." Tunjuk ibu itu pada bundelan berjilid ungu tuaku. Ia membukakan kantong plastik hitam besar yang ia dapatkan di etalase tokonya. Aku tersenyum girang, segera ku masukkan bundelan-bundelan itu sebelum tetesan hujan kembali memburunya. "Terimakasih banyak ibu." ujarku.
"Sama-sama, neng." Jawabnya tulus
Aku kembali terpaku di dinding toko itu. Ku dongakkan kepalaku, hujan masih menderas hebat dan langit pun masih kelabu. Kemudian ku tundukkan kepalaku, tetesan hujan mulai membasahi kaos kaki dan ujung rokku. Tubuhku mulai menggigil, beku. Namun hatiku lebih beku dan ada sederetan rasa yang tak bermakna. Ada satu ruang kosong yang semestinya harus ku jaga untuk terisi, namun kelalaian dan keangkuhanku mengosongkan ruang itu.
Aku melirik bundelan yang kini aman dalam kantong plastik itu. Benda ini terwujud bukan karena tangan-tanganku yang lemah, apalagi karena isi otakku tak berarti sama sekali. Bukan sekali karena semangat dan usahaku. Bukan.
Jika benda ini pula yang mampu membuatmu menangis dan merintih, kemudian segala pertolongan datang dan akhirnya membuat lancar demi terwujudnya benda ini, lantas saat ini di sebelah mana letaknya rasa syukur di ruang hatimu? Bukankah benda ini pula yang menyita seluruh waktumu, menghabiskan energi dan sebagian uangmu, Lantas sekarang dimanakah kau simpan sabar ketika kekecewaan kecil yang kau dapat?
Bukankah saat Dia yang kau prioritaskan, kau akan selalu dalam prioritasNya, bukankah Dia akan meluruskan semua urusanmu?
Ribuan kata-kata yang dulu sempat ku luncurkan kembali padaku, menyesaki rongga dada. Riuh seperti suara rintikan hujan yang bersahutan. Aku menghela nafas perlahan, mencoba mengeluarkan rasa sesak yang memenuhi paru-paruku.
Ku alihkan pandanganku pada kaca etalase toko yang berada tepat di samping kananku, ku lihat wajahku mulai pucat, bibirku membiru menahan gigil dingin. Hujan masih belum juga mau mereda, dan aku terdampar di tempat ini.
Rabb, desisku.
"Dek." sebuah suara mengguncang lamunanku. Seorang gadis mengenakan rok hitam merah marun yang dibalut jaket hitam yg tak asing lagi bagiku, jaketku. Juga sebuah payung pink menutupinya dari tetesan hujan.
"Mbak Rani." Panggilku pelan.
"Ayo pulang." Ajaknya.
Aku mengangguk lantas mengikuti langkahnya menembus hujan, setelah berpamitan dan berterimakasih pada ibu pemilik toko.
"Sibuk bener kamu dek." sindirnya membuka pembicaraan. Aku hanya diam tak mengerti maksudnya.
"Para pengajarmu menghubungi mbak tuh. Semua nanyain kamu. Nggak datang pembinaan, juga nggak  datang cek rutinan tiga minggu ini." Ujarnya menjelaskan ketidakmengertianku.
Ucapannya seperti petir yang melengkapi hujan di hatiku sedari tadi. Hatiku semakin menggigil. Kecut.
"Prioritas mbak." jawabku dingin.
"Prioritas? Sesibuk itukah?"
Aku hanya mengangkat bahuku.
"Tak ada orang yang sibuk, yang ada orang yang tak memanaje waktunya dengan baik."
Lagi, perkataan kakakku selalu tepat sasaran.
"Iya mbak, kalau udah beres semua saya juga nggak lupa rutinan lagi." Belaku.
"Lha jadi rutinan bagimu itu cuma untuk waktu luang aja?"

Aku kembali terdiam. Ia memang benar, benarkah hanya sisa waktuku yang ku persembahkan bagiMu?







Comments